
Ketiganya merupakan peneliti asal AS dan meneliti soal kemiskinan global. Namun dari hal yang spesifik seperti kesehatan dan edukasi pada masyarakat miskin.
Mereka melakukan penelitian setidaknya selama dua dekade. Inilah yang akhirnya mengantarkan mereka pada penghargaan tertinggi Nobel.
Namun tahukah Anda kalau baik Abhijit Benerjee dan Esther Duflo kerap meneliti soal RI. Salah satunya, yang dilakukan Abhijit, adalah soal BPJS Kesehatan di 2019 lalu.
Penelitian itu dilakukannya dengan sejumlah peneliti lain termasuk peneliti lokal dengan judul The Challenges of Universal Health Insurance in Developing Countries: Evidence from a Large-Scale Randomized Experiment in Indonesia (Tantangan Asuransi Kesehatan Universal di Negara Berkembang: Bukti dari Percobaan Acak Skala Besar di Indonesia).
Dari abstrak, penelitian ini melihat bagaimana asuransi kesehatan bisa dijangkau masyarakat. Penelitian ini menyasar 6.000 rumah tangga di Indonesia yang menjadi sasaran program asuransi kesehatan pemerintah yang diamanatkan secara nasional.
Penelitian yang serupa, juga menargetkan Indonesia, pernah dilakukannya di 2010. Soal tantangan negara ini mengidentifikasi orang miskin untuk asuransi sosial karena keterbatasan informasi soal pendapatan masyarakat.
Studi dilakukan dengan percobaan lapangan di 640 desa di Indonesia. Di mana ternyata penilaian diri penduduk desa atas status sosial lebih berpengaruh dalam menentukan apakah mereka tergolong penerima bantuan atau tidak, dan bukan pendapatan perkapita.
Duflo sang istri, yang menjadi wanita kedua yang memenangkan Nobel, ternyata pernah meneliti SD Inpres di Indonesia. Penelitian ini diterbitkan di Agustus tahun 2000. Dengan judul Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Unusual Policy Experiment (Konsekuensi Sekolah dan Pasar Tenaga Kerja dari Pembangunan Sekolah di Indonesia: Bukti dari Eksperimen Kebijakan yang Tidak Biasa).
Dalam abstraksinya ia menjelaskan penelitian ini berbasis pada realita yang terjadi di Indonesia tahun 1973 dan 1978. Di mana RI membangun lebih dari 61.000 SD.
Ia mengevaluasi efek dari program ini pada pendidikan dan upah. Dengan menggabungkan perbedaan antar daerah dalam jumlah sekolah yang dibangun dengan perbedaan antar kelompok yang disebabkan oleh waktu program.
Dalam risetnya, ia menunjukkan bahwa pembangunan SD Inpres menyebabkan peningkatan pendidikan dan pendapatan. Anak-anak usia 2 hingga 6 tahun di 1974 menerima 0,12 hingga 0,19 tahun lebih banyak pendidikan, untuk setiap sekolah yang dibangun per 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka.
Menggunakan variasi sekolah yang dihasilkan oleh SD Inpres ini sebagai variabel instrumental, ke dampak pendidikan pada upah, ia mendapatkan kesimpulan bahwa kebijakan ini sukses 'meningkatkan' ekonomi. Bahkan pengembalian ekonomi sekitar 6,8% hingga 10,6%.
SD Inpres merupakan proyek peningkatan kualitas pendidikan dasar di rezim Orde Baru. SD Inpres terbentuk dengan keluarnya instruksi presiden Nomor 10 tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD.
SD Inpres ini sering disebut "sekolah kecil" karena disediakan untuk anak-anak masyarakat miskin, di daerah terpencil. Kalaupun di wilayah perkotaan, SD Inpres berada di kawasan dengan penghasilan rendah, sementara di wilayah lebih maju pemerintah membuat SD negeri.
Meski dari penelitian Duflo dampak SD Inpers sangat besar, sayang sang pengagas Ekonom Widjodjo Nitisastro tidak masuk ke dalam nominasi Nobel.
(sef/sef)
https://ift.tt/2MNpWNR
October 16, 2019 at 03:09PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tak Cuma SD Inpres, Peraih Nobel Juga Kaji BPJS Kesehatan RI?"
Post a Comment