
Selama sepekan terakhir, sebanyak 43.172 sertifikat hak atas tanah dibagikan kepada masyarakat. Ribuan sertifikat tersebut diberikan untuk warga Pondok Cabe, Tangerang (Banten), dan Bekasi (Jawa Barat).
Pada hari ini, Sabtu (26/1/2019), Kepala Negara kembali menyerahkan sertifikat hak atas tanah kepada 3.000 warga di Lapangan Arcici, Rawasari, Jakarta Pusat. Artinya selama sepekan, total sertifikat yang diberikan mencapai 46.172.
"Sudah terima semuanya? Bisa diangkat tinggi-tinggi. Saya hitung dulu," kata Jokowi di depan ribuan masyarakat yang hadir dalam penyerahan sertifikat, Sabtu (26/1/2019)
Gencarnya pemberian sertifikat tanah tak lepas dari keresahan kepala negara yang kerap mendengar persoalan sengketa tanah. Bukan hanya di Jakarta, melainkan juga di berbagai wilayah Indonesia.
"Tidak hanya di Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Papua, sama. Problem sengketa tanah di mana-mana," keluh Presiden.
Menurut Jokowi, seharusnya 126 juta bidang tanah di seluruh Indonesia sudah tersertifikasi. Namun, data terkini menunjukkan baru 46 juta bidang tanah yang tersertifikasi.Artinya, masih ada sekitar 80 juta tanah di Indonesia yang belum tersertiikat dan rentan dengan persoalan sengketa. Untuk mengatasi hal ini, maka penerbitan sertifikat hak atas tanah tak bisa lagi menggunakan cara lama.
"Kementerian BPN setahun hanya [keluarkan sertifikat] 500 ribu. Kalau kurangnya 80 juta, berarti bapak ibu tunggu 160 tahun. Mau?," kata Jokowi. "Oleh karena itu saya perintah ke pak Menteri, ndak bisa begini. Saya targetkan 5 juta harus keluar sertifikat. Caranya seperti apa, terserah pak Menteri. Alhamdulillah kita bisa lakukan itu," tegasnya.
Pada tahun ini, Jokowi menjamin sebanyak 9 juta sertifikat hak atas tanah akan dikeluarkan. "Kenapa kita tidak lakukan dari dulu? Karena tidak diberi target. Tahun ini 9 juta [sertifikat] keluar. Tapi dulu 500 ribu, coba," jelasnya.
Payung Hukum yang Mangkrak 8 Tahun
Selain soal tanah, pekan ini Jokowi juga menyoroti revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Jokowi pun menggelar rapat terbatas untuk membahas UU tersebut karena wacana untuk merevisi payung hukum tersebut, sudah ada sejak 8 tahun terakhir.
Revisi aturan tersebut sudah digagas sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), namun selalu mentok di dewan parlemen.
Tak hanya itu, revisi UU Migas pun sudah berkali-kali masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas), tapi tak kunjung selesai. Jokowi kembali memberikan angin segar bagi para pemangku kepentingan di sektor minyak dan gas. Wacana perubahan aturan ini, kembali dibahas dalam level tingkat tinggi pemerintahan.
Dalam dokumen yang diterima CNBC Indonesia, disebutkan bahwa Pasal 1, Ayat 7 rancangan aturan tersebut dituliskan, kuasa usaha pertambangan adalah kuasa yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Badan Usaha Khusus Minyak dan Gas Bumi (BUK Migas) untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir migas.
BUK Migas adalah badan usaha milik negara yang dibentuk secara khusus oleh pemerintah berdasarkan undang-undang ini untuk melakukan kegiatan usaha hulu dan hilir migas yang seluruh modal dan kekayaannya dimiliki oleh negara.
Dalam rancangan UU tersebut, Pasal 6 meminta agar BUK Migas wajib menetapkan dan meningkatkan temuan dan cadangan migas, seperti cadangan strategis, cadangan penyangga, dan cadangan operasional untuk kepentingan nasional.
Dalam Pasal 54 RUU ini mengatur soal ekspor dan impor. Dituliskan, pemerintah pusat menetapkan kebijakan dan jumlah kuota ekspor minyak bumi setelah terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, dan ekspor minyak dilakukan oleh BUK.
"RUU ini harus perkuat ketahanan dan kemandirian nasional. Tujuan pembentukan RUU ini harus meningkatkan produksi migas, mendukung peningkatan kapasitas dan SDM kita," tegas Jokowi. (tas)
http://bit.ly/2CNw4Aq
January 26, 2019 at 09:52PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Cerita Jokowi Sepekan: Dari Ngurusin Tanah Hingga RUU Migas"
Post a Comment