Bagaimana tanggapan buruh terkait fakta pabrik-pabrik pindah lokasi karena persoalan upah?
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal angkat bicara. Ia bilang sebaiknya pemerintah membuat zonasi industri-industri, antara industri labour intensive atau padat karya berada di wilayah yg kebutuhan hidup layaknya atau UMK yang masih belum tinggi seperti di Jateng, juga Yogyakarta, sebagian selatan Jabar, Deli Serdang dan lainnya.
'Sehingga perusahaan tersebut menjadi kompetitif dengan Vietnam dan lainnya, sedangkan industri capital intensive atau padat modal mengisi wilayah yang UMK-nya relatif tinggi (Banten dan Jawa Barat," kata Iqbal kepada CNBC Indonesia, Kamis (14/11).
Ia bilang dengan membuat zonasi upah dan jenis industri di dalamnya, membuat keseluruhan upah buruh di Indonesia masih sangat bisa bersaing dengan negara lainnya termasuk industri alas kaki.
"Industri alas kaki yang bermerek dengan kualitas produk high quality seperti Adidas, H&M, Uniqlo dan lain-lain, mereka masih membayar upah buruh dengan layak karena mereka menpunyai code of conduct standar internasional dan Indonesia tetap menjadi primadona produk high quality merek," katanya.
Dari paparan Said Iqbal, tentu buruh memang tak mau disalahkan soal upah yang tinggi dan persoalan relokasi, karena masing-masing daerah punya tingkat kebutuhan hidup layak masing-masing. Namun, faktanya yang diungkapkan oleh Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) sudah terjadi 25 pabrik alas kaki dari Banten hingga Juni 2019, dan ada dua lagi yang rencananya akan hengkang tahun depan.
"Kita relokasi dari Tangerang (Banten), relokasi pabrik ke Jateng. UMP di Jateng, masih cukup bagus (Rp 1,6 juta/UMP 2019)," kata Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko.
Soal relokasi puluhan pabrik alas kaki di Banten dibenarkan oleh Pemprov Banten melalui Badan Pusat Statistik (BPS).
"Sementara data kami baru pabrik sepatu, karena UMP (upah minimum) yang tinggi," kata Kepala BPS Banten Adhi Wiriana kepada CNBC Indonesia, Selasa (12/11)
Adhi Wiriana juga membenarkan soal relokasi 25 pabrik sepatu dari Banten turut menyumbang angka pengangguran di Banten.
Selain itu, penyumbang tingkat pengangguran di Banten selain faktor relokasi pabrik karena musim kemarau. Pada Februari-September 2019 di Banten mengalami kemarau panjang. Hal ini mengakibatkan petani menganggur karena tidak bisa menanam karena pasokan air yang kurang.
Kedua, ada beberapa industri yang merumahkan karyawan dan peralihan industri yang mengakibatkan jumlah pengangguran bertambah. Salah satunya, perumahan karyawan di Krakatau Steel (KS) dan tutupnya perusahaan Sandratex di Tangerang Selatan.
"Ini hasil dari survei kami demikian," kata Adi.
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Banten pada Agustus 2019 mencapai 8,11% dari angkatan kerja di Banten yang mencapai 6,05 juta orang. Data BPS Banten menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Banten memang trennya menurun, meski menurun tapi masih tetap tinggi, jauh di atas rata-rata nasional yang 5,28%. Pada Agustus 2017 pengangguran di Banten mencapai 9,28%, lalu pada Agustus 2018 turun jadi 8,52%.
(hoi/hoi)https://ift.tt/3548oVf
November 14, 2019 at 03:53PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pabrik Ramai-Ramai Kabur dari Banten, Terus Salah Buruh?"
Post a Comment