Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal beralasan dengan hanya menggunakan surat edaran, maka pengusaha tak ada kewajiban untuk mematuhi nilai UMK 2020 Jabar yang sudah disetujui gubernur. Menurut buruh, Ridwan Kamil seharusnya mengeluarkan surat keputusan atau ketetapan UMK.
Ridwan Kamil sendiri mengaku hanya menjalankan keputusan pemerintah pusat yaitu Kementerian Ketenagakerjaan. Menurutnya, tak ada kewajiban gubernur untuk menetapkan UMK, merujuk pada SE Menteri Ketenagakerjaan Nomor B-M/308/HI.01.00/X/2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi Nasional dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019.
Dalam poin 5 dalam SE Menaker itu, disebut bahwa Gubernur dapat (tidak wajib) menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) untuk Kabupaten/Kota (yang mampu membayar upah minimum lebih tinggi dari UMP).
"Bulan Oktober, Menteri Ketenagakerjaan Pak Hanif mengeluarkan surat edaran yang menjadi dasar hukum dan pertimbangan. Poinnya ada dua bahwa gubernur wajib menetapkan UMP tapi tidak wajib menetapkan upah minimum kabupaten kota (UMK)," kata Ridwan Kamil dalam dialog di Squawk Box CNBC Indonesia, Selasa (26/11/2019).
"Jadi saya tidak melanggar aturan. Kalau surat perintah mengatakan dua-duanya wajib [ditetapkan], pasti saya tetapkan," sambungnya.
Meski upah sudah ditetapkan naik 8,51%, ini belum memuaskan kalangan buruh. Ketua PC SPEE FSPMI Kabupaten Karawang Dony Subiyantoro mengatakan, UMK Jabar khususnya Karawang masih jauh dari harapan buruh. Padahal, UMK Karawang 2020 berada di angka Rp4,59 juta, upah tertinggi di Indonesia.
Masalahnya, UMK Jawa Barat yang tinggi menjadi pemicu 100 lebih pabrik angkat kaki dari Jawa Barat, terutama industri padat karya seperti TPT dan alas kaki.
Jika UMK ditetapkan dalam bentuk SK, ini akan menuai keberatan dari kalangan pengusaha. Artinya, pengusaha wajib menjalankan UMK. Apabila tak mengindahkannya maka sanksi pidana menanti bagi pengusaha.
Bagi industri kecil dan menengah, ini merupakan ancaman karena akan sangat terbebani untuk menjalankan UMK tersebut.
"Kalau saya tetapkan menjadi Surat Keputusan maka tidak ada alasan perusahaan [membayar] di bawah UMK walaupun tidak mampu. Ada namanya penangguhan, tapi tetap dibayar, yang tadinya bayar di depan menjadi di belakang," kata Ridwan Kamil.
"Jadi, tidak ada ruang bagi [industri] tidak mampu. Dengan surat edaran, maka dalam kalimat hukumnya menyetui yang direkomendasikan bupati atau wali kota bagi [industri] yang mampu," ucap Ridwan.
Ridwan mengembalikan masalah UMK ini kepada pemerintah pusat sebab sebagai gubernur, Ridwan mengaku hanya menjalankan keputusan dari pemerintah pusat.
Ia menegaskan SE yang diterbitkannya ditujukan untuk industri padat karya yang belum mampu membayar UMK. Pemerintah daerah akan melakukan pengawasan untuk memastikan aturan itu betul-betul tepat sasaran.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Deddy Widjaya menegaskan pengusaha akan mematuhi surat edaran gubernur soal UMK. Ia berharap buruh tak memandang berlebihan dengan menduga-duga pengusaha tak akan patuh melaksanakan UMK 2020 yang baru, meski berdasarkan surat edaran gubernur saja.
Deddy yang menyampaikan dengan nada sindiran, menegaskan bagi pengusaha secara prinsip sangat mudah saja, sebab bila memang tak sanggup bayar UMK 2020, pilihannya bisa menutup pabrik. Ia bilang tantangan tahun depan sangat berat, belum ada kepastian apakah pengusaha dapat orderan dari para pembeli, yang akan mempengaruhi kinerja perusahaan di 2020.
"Ya kalau tak mematuhi, tinggal tutup (pabrik) saja. Kalau rugi, tutup aja, gampang saja kalau pengusaha sih," kata Deddy kepada CNBC Indonesia, Senin (25/11).
(hoi/hoi)https://ift.tt/2Dk0Rpt
November 28, 2019 at 03:31PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "UMK Tinggi Jabar, Pengusaha: Kalau Tak Kuat, Ya Tutup Pabrik!"
Post a Comment