Berbicara di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Martin Gilbert, joint CEO perusahaan investasi Inggris Standard Life Aberdeen, menyebut perang dagang AS-China dan kebuntuan Brexit sebagai dua contoh hal yang memengaruhi sentimen pasar.
Sejak WEF terakhir di Davos tahun lalu, AS telah mengenakan tarif impor pada barang-barang China senilai US$250 miliar (sekitar Rp 3.557 triliun) yang langsung dibalas Beijing dengan menerapkan bea masuk terhadap barang-barang AS senilai US$110 miliar yang menargetkan industri penting secara politis, seperti pertanian.
Melansir CNBC International, pasar saham telah mengalami kejatuhan besar-besaran pada akhir 2018, disebabkan oleh masalah tersebut dan juga ancaman dampaknya pada ekonomi global. Oleh karena itu, banyak indeks yang terkoreksi parah dan beberapa bahkan secara resmi memasuki wilayah pasar bearish.
"(Ada) banyak risiko geopolitik antara AS dan China, tentu saja kita berada di posisi yang lebih buruk dibandingkan tahun lalu," kata Gilbert kepada CNBC di Swiss.
Sementara itu, pembicaraan Brexit telah tiba pada ujungnya dengan Inggris meresmikan 29 Maret sebagai tanggal meninggalkan Uni Eropa. Tetapi proposal Perdana Menteri Inggris Theresa May telah ditolak mentah-mentah oleh anggota parlemen, dan negara ini menghadapi kemungkinan akan meninggalkan Uni Eropa tanpa kesepakatan, sesuatu yang telah diperingatkan oleh para pemimpin bisnis dan pakar industri sejak negosiasi dimulai.
Foto: infografis/Musuh-musuh Perang Dagang Trump/Aristya Rahadian Krisabella
|
Gilbert memperingatkan bahwa ekonomi global dapat menghadapi lebih banyak tantangan tahun ini yang dapat menyebabkan gejolak berlanjut di pasar.
"Meskipun para ekonom mengatakan pertumbuhan global akan baik-baik saja tahun depan, namun pasar saham memberi tahu kita sesuatu yang sama sekali berbeda," katanya.
"Mereka biasanya merupakan indikator acuan ke depan yang sangat bagus dan mereka menunjukkan ada sedikit masalah di depan," kata Gilbert.
Dana Moneter Internasional (IMF) menambah buruknya keadaan pada hari Senin, dengan merevisi turun perkiraan pertumbuhan global dan memperingatkan bahwa ekspansi beberapa tahun terakhir terlihat kehilangan momentum.
IMF sekarang memproyeksikan tingkat pertumbuhan 3,5% di seluruh dunia untuk 2019 dan 3,6% untuk 2020. Angka ini turun 0,2 dan 0,1 poin persentase di bawah perkiraan terakhir pada Oktober, dan merupakan revisi penurunan kedua dalam tiga bulan.
Lembaga yang berbasis di Washington itu membahas pelemahan penjualan bagi produsen mobil Jerman karena standar emisi bahan bakar baru, dan permintaan domestik yang lemah di Italia akibat adanya risiko kedaulatan dan keuangan baru-baru ini. Tetapi IMF juga menyoroti melemahnya sentimen di pasar keuangan global dan kontraksi di Turki yang sekarang diproyeksikan lebih parah dari yang diperkirakan.
(prm)http://bit.ly/2FCVfJW
January 22, 2019 at 09:58PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Ekonomi Sekarang Lebih Buruk dari Tahun Lalu'"
Post a Comment