Hadir dalam rapat tersebut, beberapa di antaranya yakni Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Bambang Gatot, dan Sekretaris Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Iwan Prasetya Adhi.
Dalam rapat tersebut, terungkap, ternyata limbah B3 yang dihasilkan oleh perusahaan migas masih tergolong besar, yang paling besar adalah limbah yang dihasilkan oleh wilayah kerja PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang tercatat sampai 2018 mencapai 27,27 ribu ton.
Adhi menuturkan, besarnya limbah tersebut disebabkan akumulasi dari wilayah kerja CPI yang sudah digarap sejak zaman pendudukan Belanda, ditambah lagi wilayah kerjanya juga besar dan produksinya banyak.
"Wilayah kerjanya kan luas, presentase dihitung juga berdasarkan luas kan. Kalau WK itu besar ya limbahnya juga besar, walaupun presentasenya kecil, apalagi dia sudah dari zaman Belanda kan, jadi kumulatif berton-ton itu," ujar Adhi kepada media ketika djumpai di sela-sela RDP, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (21/1/2019).
Sebagai informasi, Limbah B3 atau Limbah Bahan Beracun Berbahaya adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia.
Adapun, dari segi pertambangan, Bambang menjelaskan, pihaknya punya aturan khusus dalam menangani wilayah pasca tambang, yakni memberikan jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang," terangnya.
Sebelum mendapatkan izin untuk beroperasi, kata Bambang, perusahaan tambang harus menyerahkan uang jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang. Uang itu akan dikembalikan setelah perusahaan selesai beroperasi dan tergantung dari hasil pengelolaan limbahnya.
Bambang menjelaskan pada 2018 uang jaminan reklamasi yang terkumpul di pemerintah sebanyak Rp 1,2 triliun sementara uang jaminan pasca tambang Rp 3,5 triliun. Uang itu disimpan oleh pemerintah di salah satu bank BUMN.
Ribut di Komisi VII
Adapun, awalnya RDP berjalan tenang dan lancar, sampai ketika Pimpinan Rapat Komisi VII DPR RI M Nasir menanyakan apakah ada perusahaan tambang yang belum membayar uang jaminan pasca tambang dan jaminan reklamasi tersebut. Situasi pun mulai memanas.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Bambang menjawab, pengelola tambang yang tidak membayar hanya penambang ilegal dan tambang rakyat. Namun ada pula yang juga belum membayar uang jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang yang sudah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
"Kami hanya bisa merekomendasikan mereka agar menahan izinnya, karena itu IUP di daerah mereka," terangnya.
Nasir pun mulai geram dan minta agar dijelaskan, mengapa perusahaan tambang itu bisa beroperasi namun belum menyetor uang jaminan reklamasi dan jaminan pasca tambang. Namun Nasir memandang Bambang tak bisa menjawab pertanyaan itu.
"Apa dalihnya kok bisa keluar izinnya? Kan dari pemerintah pusat bisa lihat checklist-nya. Saya tidak ngerti ini kok bisa jalan?"
Nasir bertambah geram ketika penjelasan diambil alih oleh Iwan Prasetya Adhi. Kegeramannya bertambah lantaran Adhi tidak pernah turun langsung meninjau keadaan di lapangan.
"Bapak ngerti nggak soal lokasinya? bapak pernah ke lapangan? Oh jadi cuma duduk-duduk di belakang meja ya. Tunggu laporan, dibacakan enak dong, semua juga bisa," ujar Nasir dengan nada sindiran.
"Jadi berarti belum ke lapangan? Tolong turun ke lapangan-lapangan biar tahu. Brengsek ini tidak jelas," pungkas Nasir.
http://bit.ly/2AW5F3D
January 21, 2019 at 10:10PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Chevron Raja Sumbang Limbah B3 di RI, Capai 27 Ribu Ton"
Post a Comment