Search

Rusia Ingkar Janji Harga Minyak Dunia Jadi Galau

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia pada siang hari ini (23/1/2019), cenderung stagnan

. Hingga pukul 11:30 WIB, harga minyak Brent kontrak Maret 2019 menguat tipis 0,05% ke posisi US$61,53/barel setelah amblas 1,98% kemarin (22/1/2019).

Sedangkan minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Maret 2019 melemah 0,02% ke posisi US$ 53,00/barel sejak dibuka dini hari tadi.



Secara mingguan, harga minyak menguat sekitar 0,9% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun 2019 harga emas hitam ini sudah naik sekitar 13 %.

Harga minyak yang cenderung stagnan pada hari ini merupakan akibat saling tarik antar sentimen.

Perlambatan ekonomi global kembali terangkat ke permukaan menyusul rilis data ekonomi China pada Senin lalu. Tak heran, karena Negeri Tirai Bambu membukukan pertumbuhan ekonomi paling lambat sejak 28 tahun lalu (1990).

Perlambatan ekonomi China sudah tentu akan merambat ke negara-negara lain, mengingat China merupakan negara dengan ekonomi terbesar ke-2 dunia. Rekan dagangnya hampir seluruh dunia. Saat aktivitas ekonomi China melambat, maka rantai pasokan dunia juga hampir pasti mengekor.

Jepang sebagai peringkat ekonomi ke-3 juga tak ingin ketinggalan. Hari ini Negeri Sakura melaporkan neraca dagang periode Desember 2018. Hasilnya gampang ditebak, nilai ekspornya turun 3,8%, yang merupakan penurunan paling besar sejak lebih dari 2 tahun.

Alasannya juga mudah dicerna, yaitu karena turunnya jumlah pengiriman ke China dan sebagian besar negara Asia akibat dampak perang dagang Amerika Serikat (AS)-China.

Untungnya, pemerintah China beritikad baik untuk memperhalus dampak perlambatan ekonomi. Hari ini Kementerian Keuangan China mengatakan akan meningkatkan belanja negara tahun ini untuk memberi sokongan pada perekonomian, seperti yang dilansir dari Reuters.

Sebagai informasi, pada 2018 sebenarnya belanja pemerintah China sudah meningkat 8,7% ke CNY 22,1 trliun (setara US$ 3,3 triliun). Sebelumnya, Menteri Keuangan China Liu Kun juga mengatakan berencana akan melakukan relaksasi pajak demi menstimulus geliat ekonomi.

Setidaknya, rencana China tersebut dapat meredam gejolak yang terjadi akibat perlambatan ekonomi, meski tidak dapat menghilangkan sepenuhnya.

Kabar miring dari perkembangan damai dagang AS-China juga sedikit membuat investor cenderung berjaga-jaga. Kemarin (22/1/2019), sebuah sumber yang dikonfirmasi CNBC Internasional mengatakan bahwa rencana pertemuan Wakil Perdana Menteri China, Liu He yang dijadwalkan pada 30-31 Januari mendatang mendadak dibatalkan.

Meskipun setelahnya, kabar ini dibantah oleh penasihat Gedung Putih, Larry Kudlow yang mengatakan bahwa tidak ada pertemuan lain yang dijadwalkan selain kunjungan Liu He pekan depan.

Di sisi lain, pasokan minyak Negeri Paman Sam diprediksi akan terus meningkat. U.S. Energi Information Administration (EIA) melaporkan bahwa produksi minyak serpih AS pada 7 formasi utama meningkat 63.000 barel/hari.

Informasi ini membuat pasar semakin khawatir akan banjirnya pasokan minyak dunia. Pasalnya, produksi minyak AS sudah naik 2,4 juta barel/hari sejak awal 2018 ke rekor tertinggi 11,9 juta barel/hari. Tingkat produksi tersebut mengukuhkan posisi AS sebagai negara dengan penghasil minyak terbesar di dunia.

Setidaknya masih tabungan sentimen positif yang bisa membuat harga minyak naik lagi.

Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama dengan Rusia pada awal Desember 2019 bersepakat untuk memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari mulai Januari 2019.

Belum lama ini, panelis OPEC membeberkan rincian kuota pemangkasan produksi masing-masing negara yang ikut tergabung dalam kesepakatan (OPEC+). Dalam rinciannya, Arab Saudi dijatah mengurangi pasokan minyak sebesar 322.000 barel/hari, sedangkan Rusia sebanyak 230.000 barel/hari.

Kabar baiknya, laporan produksi pada bulan Desember mencatatkan produksi minyak negara-negara OPEC sudah berkurang 751.000 barel. Hal ini menunjukkan keseriusan OPEC untuk benar-benar mengurangi pasokan minyaknya, bahkan sebelum jadwal pemangkasan produksi dimulai.

Namun, sepertinya Rusia belum ingin buru-buru membuat pasar senang. Pasalnya, Menteri Energi Rusia Alexander Novak mengatakan produksi minyak Negeri Beruang Merah pada bulan Januari turun 30.000 barel/hari.

Jumlah ini masih jauh dari kesepakatan dimana Rusia akan mengurangi 230.000 barel pada 3 bulan pertama 2019. Bahkan menurut laporan Bloomberg, Menteri Energi Arab Saudi mengkritik jumlah pengurangan pasokan minyak Rusia yang lebih lambat dari yang diharapkan, seperti yang dilansir dari Reuters.

Selain itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh DNV GL, sebanyak 70% senior eksekutif industri energi berencana untuk mempertahankan atau meningkatkan belanja modal pada tahun ini.

Hal tersebut dinilai positif oleh pasar, karena meskipun kekhawatiran akan penurunan permintaan minyak membayangi, pelaku industri masih optimis akan prospek bisnis jangka panjang.

TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/gus)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2FQrftw
January 23, 2019 at 06:59PM

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Rusia Ingkar Janji Harga Minyak Dunia Jadi Galau"

Post a Comment

Powered by Blogger.