Hari ini, PT Bank Danamon Tbk (BDMN) secara resmi mendeklarasikan mengabungkan usaha atau merger dengan PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk (BBNP) setelah kedua entitas tersebut diakuisisi Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG). Kepemilikan MUFG Bank di Bank Danamon akan naik menjadi 72,78% dari posisi sebelum merger sebesar 40%.
Bukan hanya Bank Danamon, sebelumnya PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) resmi mulai proses penggabungan usaha (merger) tahun lalu. Dalam proses merger itu, SMBCI akan bergabung ke dalam BTPN sebagai bank penerima penggabungan.
"Memang persaingan perbankan semakin ketat dan eranya digitalisasi. Jadi, rata-rata bank itu masuk ke ranah uang elektronik dan sebagainya. Mereka butuh dana dan modal besar untuk masuk segmen itu," kata Eko kepada CNBC Indonesia, Selasa (22/1/2019).
Bank asing, lanjut Eko, melihat industri sektor keuangan Indonesia tumbuh prospektif. Dengan pertumbuhan kredit masih di sekitaran 12% saat deposito 5%-6%.
Artinya, keuntungannya bisa mencapai 100%. Dari sisi nett interest margin (NIM) perbankan Indonesia masih 6%. Pertumbuhan kredit bank-bank kecil bahkan bisa lebih tinggi lagi.
Sementara, bank-bank luar negeri seperti di Singapura pertumbuhannya belum tentu setinggi itu. Oleh karena itu, lanjut Eko, menjadi wajar bila bank asing lebih tertarik mengakuisisi bank-bank di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
"Singapura itu sangat rendah (bunga kredit) sehingga wajar ekspansi ke negara berkembang. Salah satu tujuannya Indonesia karena suku bunganya sangat menarik," ujarnya.
Ditambah lagi, dari segi regulasi perbankan lokal dan global mendukung. Eko menjelaskan, dalam aturan perbankan global arah kebijakan cenderung ke permodalan, selain risiko. Arsitektur perbankan Indonesia juga arahnya ke penguatan permodalan.
Lebih jauh lagi, Undang-Undang (UU) perbankan dalam negeri masih membolehkan penguasaan asing terhadap bank lokal sebesar 99%. Di negara lain, asing tidak bisa leluasa memiliki bank lokal sebesar itu.
"Ini masih dugaan, tapi kalau dari data-data angka sudah membuktikan kalau keuntungan besar dari industri perbankan asing itu belum banyak memberi manfaat ke Indonesia," ucapnya.
Semua bermula saat Indonesia mengalami krisis tahun 1998. Untuk menyelamatkan industri perbankan nasional, Pemerintah saat itu membuka peluang asing untuk masuk bank dalam negeri hingga 99%. Kebijakan itu ternyata mampu mengerek naik rupiah dari Rp15.000 per dolar Amerika Serikat (AS) ke level Rp9.000 per dolar.
Akuisisi dinilai Eko memang penting untuk bank dalam negeri. Namun, perlu diperhatikan juga siapa yang mengakuisisi. Pasalnya, keuntungan, bila sudah menjadi milik asing, akan lebih banyak masuk ke induk usaha. Secara otomatis, dana yang diputar juga tidak di Indonesia, kata Eko.
"Bank asing juga OJK di awal-awal saat akuisisi mewacanakan akan menyalurkan kredit ke UMKM sebesar 20%, itu sifatnya hanya imbauan saja. Apakah real-nya bank-bank asing itu menyalurkan kredit ke UMKM? belum tentu." pungkasnya.
[Gambas:Video CNBC] (hps/hps)
http://bit.ly/2AXvYX4
January 22, 2019 at 10:13PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ekonom Sebut Alasan Bank Lokal Mau Dicaplok Investor Jepang"
Post a Comment