Hingga pukul 14:00 WIB, harga minyak Brent kontrak Maret 2019 menguat 0,14% ke posisi US$62,79/barel setelah sebelumnya melesat 2,48% pada akhir pekan lalu (18/1/2019).
Sedangkan minyak jenis lightsweet (WTI) kontak Februari 2019 naik 0,19% ke posisi US$53,90/barel, setelah menguat 3,25% pada penutupan perdagangan sebelumnya.
Secara mingguan, harga minyak menguat sekitar 6,5% secara point-to-point, sedangkan sejak awal tahun, harga minyak sudah menguat sekitar 17,7% . Penguatan harga minyak hari ini ditopang oleh sejumlah sentimen positif.
Hari ini, Biro Statistik Nasional China merilis data produksi industri periode Desember 2018. Dalam rilisnya, kilang pengolahan minyak mentah China sepanjang tahun 2018 naik menjadi 12,12 juta barel/hari atau tumbuh 6,8% dari tahun sebelumnya.
Ini artinya, permintaan minyak mentah Negeri Tirai Bambu masih terus tumbuh, ditengah perlambatan ekonomi dunia.
Selain itu, output industri China secara keseluruhan tumbuh 5,7% pada periode Desember 2018, dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini melebihi ekspektasi pasar yang berada di level pertumbuhan 5,3%.
Tak hanya itu, penjualan ritel periode Desember 2018 juga naik 8,2% dibandingkan dengan 8,1% di bulan November.
Sontak pasar menilai aktivitas perekonomian China masih terbilang baik, ditengah perlambatan ekonomi dunia.
Sentimen positif juga makin menguat perihal damai dagang AS-China.
Sentimen positif datang dari perdagangan China- Amerika Serikat (AS). Bloomberg melaporkan bahwa China memberikan penawaran untuk menaikkan impor produk-produk asal AS selama 6 tahun ke depan dengan nilai total mencapai lebih dari US$ 1 triliun, seperti dikutip dari CNBC International.
Penawaran ini diberikan China kala melakukan negosiasi dengan AS di Beijing pada awal bulan ini. Penawaran ini bertujuan untuk membuat neraca dagang China-AS impas pada tahun 2024. Pada tahun 2018, China membukukan surplus neraca dagang senilai US$ 323 miliar dengan AS.
Selain itu, Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin dikabarkan akan menerima kehadiran Wakil Perdana Menteri China, Liu He di Washington pada akhir bulan Januari 2019. Rumornya, Mnuchin akan menghapus sebagian atau seluruh tarif impor barang made in China pada pertemuan tersebut. Meski kemudian dibantah, namun pasar sudah keburu senang.
Masih ada lagi, yaitu kabar yang datang dari Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Pada akhir pekan lalu (18/1/2019) OPEC merilis data yang merinci aktivitas pengurangan pasokan minyak anggotanya dan juga produsen utama lainnya untuk membuat pasar semakin optimis akan keseimbangan fundamental minyak dunia.
Mengitup Reuters, rilis data ini menyusul desakan dari Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo.
"Industri minyak tidak bertahan bila harga turun lagi," ujar Barkindo kepada Reuters pada hari Kamis (17/1/2019)
Dalam pernyataannya, panelis OPEC juga meminta anggota organisasi dan sekutunya untuk melipatgandakan upaya dalam implementasi penuh rencana pengurangan produksi tersebut secara tepat waktu.
Kelompok produsen yang lebih lanjut dikenal dengan OPEC+ telah bersepakat untuk memangkas pasokan minyak sebesar 1,2 juta barel/hari, dimana kuota dari OPEC adalah sebesar 800.000 barel/hari.
Pada paruh pertama 2019, OPEC+ akan memangkas produksi minyak sebesar 1,196 juta barel/hari menjadi 43,87 juta barel/hari. Selain itu, pertemuan lanjutan juga dijadwalkan pada 17-18 April 2019 mendatang di Wina untuk memutuskan perpanjangan kesepakatan tersebut (pemotongan produksi) setelah Juni 2019.
Pasar menaruh optimisme yang besar pada rencana OPEC+ tersebut. Sebab pada Desember 2018 (sebelum jadwal pengurangan produksi) OPEC sudah mengurangi pasokan minyaknya sebesar 751.000 barel/hari. Artinya OPEC sudah benar-benar serius akan mematuhi kesepakatan tersebut.
Namun demikian, masih ada sentimen negatif yang terus menghambat penguatan harga emas dunia.
Pertumbuhan ekonomi China pada Desember 2018 tercatat sebesar 6,4%. Ini artinya pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2018 hanya sebesar 6,6%, yang merupakan pertumbuhan ekonomi paling lambat sejak 1990.
Perlambatan ekonomi memang menjadi momok bagi harga minyak. Pasalnya, permintaan energi akan senada dengan pertumbuhan ekonomi. Saat ekonomi melambat, permintaan energi juga diprediksi berkurang.
Untungnya, perlambatan ekonomi China sepertinya sudah masuk hitungan investor. Sebagai informasi, nilai prediksi pertumbuhan ekonomi China versi ekonom yang disurvei Reuters sama dengan rilis data China. Hal tersebut membuat momen rilis data ekonomi China tidak terlalu membuat kegaduhan hari ini.
Selain itu, pasokan minyak AS yang terus meningkat menambah kekhawatiran pasar akan banjirnya pasokan minyak dunia. Energy Information Administration (EIA) mengatakan bahwa produksi minyak AS secara mingguan meningkat 1,7% pada 11 Januari 2019 lalu. Hal tersebut membuat produksi minyak AS menorehkan rekor baru dengan produksi 11,9 juta barel/hari.
Sejak Januari 2018, produksi minyak AS sudah meningkat 2,4 juta barel/hari.
Lebih jauh lagi, EIA memprediksi produksi minyak AS masih akan tumbuh tahun ini, dan menembus rekor diatas 12 juta barel/hari, seiring berubahnya AS menjadi net eksportir minyak pada 2020, mengutip Reuters.
Sementara itu, cadangan bensin AS juga naik 7,5 juta barel pada minggu lalu, jaduh lebih tinggi daripada konsensus Reuters yang memperkirakan kenaikan sebesar 2,8 juta barel.
Melonjaknya cadangan bensin diakibatkan oleh penurunan permintaan akibat dari government shutdown yang masih berlangsung hingga hari ini. Sebanyak 800.000 PNS tidak digaji, sudah pasti akan menurunkan tingkat konsumsi, termasuk bahan bakar.
Maka dari itu, pasar juga masih mencemaskan government shutdown AS yang hari ini masuk hari ke-30.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)
http://bit.ly/2W6OVzv
January 21, 2019 at 09:27PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ekonomi China Melambat, Harga Minyak Kok Naik?"
Post a Comment