Pada perdagangan hari Selasa (4/6/2019) pukul 09:30 WIB, harga minyak mentah jenis Brent kontrak pengiriman Agustus turun 0,42% menjadi US$ 61,02/barel atau terendah sejak 31 Januari 2019.
Sementara harga light sweet (WTI) kontrak pengiriman Juli melemah 0,32% ke level US$ 53,08/barel atau paling kecil sejak 11 Februari 2019.
Harga minyak sudah melemah sekitar 20% sejak mencapai puncaknya pada akhir April 2019. Pelemahan bulanan yang terjadi pada bulan Mei merupakan yang paling tajam sejak November 2018.
Perlambatan ekonomi global masih menjadi faktor utama yang membuat harga minyak tertekan.
Teranyar, pembacaan akhir pertumbuhan ekonomi Korea Selatan pada kuartal I-2019 diumumkan di level minus 0,4% alias terkontraksi secara kuartalan (QoQ). Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan kuartal I-2019 tumbuh 1,7% YoY atau melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang 2,9% YoY.
Bank sentral Korea Selatan (Bank of Korea/BOK) juga mengatakan bahwa inflasi inti pada bulan Mei hanya sebesar 0,6% YoY dan merupakan yang paling lambat sejak tahun 1999 atau dalam hampir 20 tahun terakhir.
Sebagai informasi, inflasi inti dapat menggambarkan kenaikan harga yang disebabkan oleh mekanisme pasar. Saat kenaikan harga amat kecil, maka besar kemungkinan permintaan konsumen berkurang dan menyebabkan produsen sulit untuk menaikkan harga.
Data tersebut semakin mengonfirmasi bahwa perlambatan ekonomi di Asia adalah nyata. Bahkan pelaku pasar semakin khawatir perlambatan ekonomi akan semakin parah ke depannya.
Hubungan AS dengan China yang semakin memanas membuat nasib damai dagang semakin tidak jelas.
Pada hari Minggu (2/6/2019) waktu setempat, Wakil Menteri Perdagangan China, Wang Shouwen mengatakan bahwa Washington tidak bisa menggunakan tekanan untuk mendesak perjanjian damai dagang dengan Beijing, mengutip Reuters. Dirinya juga menampik kabar bahwa dua pimpinan negara (AS-China) akan bertemu di sela-sela pertemuan negara-negara G20 di Tokyo nanti.
Padahal sebelumnya beredar kabar bahwa Presiden AS, Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping akan melangsungkan pertemuan di sela-sela konferensi negara G20.
Apalagi saat ini AS juga sudah membuka lembaran perang dagang baru dengan negara tetangganya, Meksiko. Pekan lalu, Trump mengatakan akan mulai memberlakukan tarif impor 5% pada produk Meksiko mulai 10 Juni 2019 nanti. Bea impor itu masih akan terus meningkat hingga 25% hingga pemerintah Meksiko dapat mengatasi masalah imigran gelap yang masuk ke AS.
Dengan adanya perang dagang, tentu saja rantai pasokan global akan terganggu. Pertumbuhan ekonomi global, yang sudah lambat, akan semakin melambat. Permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak juga berpeluang terkontraksi.
"Perlambatan aktivitas ekonomi seperti sekarang ini mengancam pertumbuhan permintaan [minyak], tulis analis Bank of America Merrill Lynch, mengutip Reuters.
Namun setidaknya, Menteri Energi Arab Saudi pada hari Senin (3/6/2019) mengatakan bahwa konsensus diantara produsen minyak akan berusaha membuat pasar lebih seimbang pada semester II-2019.
Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya akan kembali menggelar pertemuan pada awal Juli nanti untuk menentukan kelanjutan kebijakan pemangkasan produksi.
Sebagaimana yang telah diketahui, Desember 2018 silam, OPEC+ (OPEC dan sekutunya) telah sepakat untuk mengurangi produksi hingga 1,2 juta barel/hari sepanjang Januari-Juni 2019. Sementara kebijakan produksi untuk paruh kedua 2019 akan ditentukan pada pertemuan di Wina, Austria Juli mendatang.
Bila OPEC+ masih terus menahan produksi di level yang rendah, atau bahkan lebih ketat, maka keseimbangan fundamental (pasokan-permintaan) di pasar bisa membaik. Harga minyak berpotensi kembali terangkat.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/hps)
http://bit.ly/2MuPMJq
June 04, 2019 at 06:02PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Sejak Akhir April Harga Minyak Dunia Anjlok 20%"
Post a Comment