
Meskipun demikian, komitmen pemerintah dinilai akan menentukan arah sektor barang konsumsi ke depan. Barang konsumer termasuk di dalamnya konsumsi rokok, farmasi, makanan dan minuman (mamin), serta belanja elektronik.
Kebijakan pemerintah tentu terkait dengan penertiban perputaran ponsel pintar di pasar gelap dan komitmen untuk tidak menaikkan cukai rokok, seperti yang pernah disampaikan sebelumnya.
Dari sisi eksternal, katalis pendorong sektor ini ialah stabilitas rupiah dan harga komoditas global. Dalam hal ini, farmasi menjadi lebih sensitif karena industri obat-obatan ini sangat tergantung dengan bahan mentah impor, sementara bagi industri makanan instan (mi, biskuit atau roti), maka depresiasi rupiah berkaitan dengan impor gandung.
Dari 10 emiten barang konsumsi yang sudah mempublikasikan laporan keuangan kuartal I-2019, ada empat emiten yang pendapatannya tumbuh dua digit yaitu PT Nippon Indosari Corpindo Tbk (ROTI) sebesar 20,03%, PT Gudang Garam Tbk (GGRM) 19,18%, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) 13,92%, dan PT Mayora Indah Tbk (MYOR) 11,04%. Empat emiten lain pendapatannya naik meski tidak lebih dari 10%, yaitu PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) 8,72%, PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) 2,89%, PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) 7%, dan PT Buyung Poetra Sembada Tbk (HOKI) 4,74%. Dari sisi harga saham, emiten mana yang paling menarik?
Ternyata, saham GGRM lebih diminati pasar dibandingkan dengan HMSP karena penaikan harga jual rokok asal Kediri tersebut dinilai akan dapat mengancam pangsa pasar Sampoerna yang memimpin industri.
Gudang Garam adalah produsen rokok yang berkantor pusat di Kediri, Jawa timur, sedangkan HMSP dikenal dengan kantor pusatnya di Surabaya. HMSP kini disokong pemegang saham asal AS, Phillip Morris International.
Gudang Garam memiliki harga jual yang lebih rendah dari Sampoerna, tapi dari waktu ke waktu perseroan mampu menjaga pangsa pasar dan nilai margin, meskipun secara persentase margin perseroan masih lebih tipis dibandingkan dengan Sampoerna.
Bahkan, jika Gudang Garam dipuji karena baru mengumumkan kenaikan harga, maka pangsa pasar Sampoerna yang turun justru disebabkan oleh kenaikan harga rokok putih kretek A Mild yang dinilai terlalu cepat, dalam usaha memonetisasi pangsa pasar perseroan yang sudah cukup besar.
Pangsa pasar Sampoerna pada kuartal I-2019 turun menjadi 32,2% (turun 50 basis poin secara kuartalan/QoQ dan turun 100 bps secara tahunan/YoY).
Turunnya porsi market share di industri itu ditengarai terutama akibat kenaikan rerata harga jual (average selling price, ASP) A Mild sebesar 3% sejak awal tahun dibanding pesaing yang hanya menaikkan harga 0%-1,7%.
Omzet
Dari 10 emiten tersebut, emiten yang masih membukukan penurunan omzet di bawah prediksi adalah PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) 0,76% di bidang mamin dan PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) 13,97% di bidang penjualan ponsel pintar.
Unilever baru mulai memasarkan produk baru yaitu kosmetik halal Nameera dan kehilangan sebagian pendapatan karena dijualnya divisi bahan makanan olesan (spread) tahun lalu--salah satu contoh produknya adalah margarine Blue Band.
Analis PT RHB Sekuritas Indonesia Andrey Wijaya menilai pendapatan perseroan yang relatif flat tersebut turut berimplikasi pada penurunan laba bersih yang lebih besar pada kuartal I-2019, karena adanya kenaikan beban.
"Margin EBIT [laba sebelum bunga dan pajak] kuartal I-2019 menyempit menjadi 32% [dari kuartal IV-2018 37%], mengindikasikan kompetisi yang intens di segmen perawatan tubuh, di mana Unilever tidak mampu meneruskan beban itu kepada konsumen yang terlihat dari adanya kenaikan beban," ujar Andrey.
Dia masih memiliki rekomendasi Neutral untuk saham UNVR dengan target harga (TP) Rp 46.900/saham untuk 12 bulan ke depan.
EBIT adalah laba sebelum beban bunga dan pajak, yang biasanya bersama EBITDA (laba sebelum beban bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) sering digunakan untuk menunjukkan kinerja operasional organik perseroan tanpa terlalu terpengaruh pendapatan/beban lain-lain.
Untuk distributor ponsel dan pulsa yakni Erajaya, kinerja perseroan kuartal I-2019 turut membuat gempar investor. Pasalnya, kinerja 2018-nya sempat meroket dan mendongkrak harga sahamnya sejak akhir tahun lalu hingga awal Januari.
Turunnya kinerja distributor ponsel pintar tersebut membuat beberapa analis menurunkan rekomendasi untuk ERAA, salah satunya analis PT Trimegah Sekuritas Indonesia Tbk (TRIM) Darien Sanusi yang membuat rekomendasi ERAA menjadi Sell dengan TP Rp 1.150.
Dia menilai penjualan perseroan yang turun disebabkan oleh semakin maraknya ponsel pintar ilegal yang dijual di masyarakat.
Selain itu, longgarnya penegakan hukum atas permasalahan penjualan di black market tersebut akhirnya berimbas pada performa emiten yang menjadi distributor ekslusif untuk produk Xiaomi dan Apple itu.
Di sisi lain, ada dua emiten yang labanya berbalik negatif meskipun pendapatannya tumbuh yaitu PT Mayora Indah Tbk (MYOR) yang memproduksi produk cokelat dan wafer, serta PT Buyung Poetra Sembada Tbk (HOKI) yang berbisnis beras.
Meskipun pendapatan tumbuh positif, laba bersih Mayora malah turun tipis 0,43% utamanya disebabkan naiknya beban keuangan perseroan dari pinjaman bank jangka panjang dan utang obligasi.
Dari sisi utang bank, kenaikan bukan dari jumlah utang, tapi dari suku bunga per tahun yang naik dari 6,91%-9,56% pada 2018 menjadi 8,85%-9,56%.
Lalu, kenaikan obligasi perseroan yang terjadi bukan karena jumlah emisi surat utang, tetapi dari sisi bagian yang jatuh tempo lebih dari 1 tahun.
Kondisi tersebut akhirnya menyebabkan beban keuangan perseroan naik dari Rp 92,2 miliar menjadi Rp 129,74 miliar dan mempertipis selisih dari laba sebelum pajak MYOR kuartal I-2019 dengan kuartal I-2018.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/tas)
http://bit.ly/2GT5Ajm
May 03, 2019 at 09:03PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kinerja 10 Emiten Konsumer Q1-2019, Siapa Terbaik dan Terburuk?"
Post a Comment