Search

Simak, 4 Masalah Ini Ganggu Industri Penerbangan RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana pemerintah mengundang maskapai asing masuk ke dalam negeri dinilai tidak cukup untuk menurunkan tarif tiket pesawat. Pasalnya, ada masalah besar dalam pengelolaan industri penerbangan domestik.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengungkapkan setidaknya ada 4 masalah dalam pengelolaan industri penerbangan domestik RI. Pertama, soal inefisiensi penerbangan nasional.

Inefisiensi tersebut terlihat dari harga tiket pesawat di RI yang tidak mengalami penurunan di tengah maraknya penurunan harga tiket pesawat di sebagian besar maskapai domestik di Asia Tenggara.


"Hanya maskapai asal Indonesia yang menaikkan (harga) di tengah-tengah penurunan harga di penerbangan domestik di Asia Tenggara," kata Nailul Huda dalam diskusi on-line bertema Mimpi Tiket Penerbangan Murah: Perlukah Maskapai Asing Menjadi Solusi?, Minggu (16/6/2019).


Sebagai perbandingan, berdasarkan data yang dipaparkan INDEF, tahun ini Garuda Indonesia mematok harga tiket US$ 0,13 per kilometer (km) untuk penerbangan domestik atau lebih mahal ketimbang tahun 2018 US$ 0,1 per km. AirAsia Indonesia tahun ini memasang harga US$ 0,1 per km setelah sebelumnya di 2018 US$ 0,09 per km.

Bandingkan dengan AirAsia Filipina yang menurunkan harga dari US$ 0,2 per km menjadi US$ 0,05 per km. Vietjet sebelumnya penerbangan domestiknya seharga US$ 0,14 per km, tahun ini menjadi US$ 0,05 per km.

Menurut Nailul, kenaikan harga ini disebabkan tingkat keterisian yang belum mencapai Breakeven Load Factor (BLF). Padahal tingkat keterisian rata-rata maskapai di Indonesia sudah melebihi rata-rata BLF maskapai di Asia Pasifik.

"Artinya sudah sewajarnya mendapatkan keuntungan. Namun, yang terjadi adalah kenaikan harga dengan alasan masih merugi," tambah Nailul.

Simak, 4 Masalah Ini Ganggu Industri Penerbangan RIFoto: Infografis/Harga Avtur/Edward Ricardo

Harga avtur yang sering disebut-sebut mahal oleh INACA, kata Nailul, juga lebih murah dibandingkan Singapura dan Malaysia. Harga avtur di Indonesia dikatakan sudah turun. Harga avtur Pertamina turun 16% sejak November 2018 hingga Januari 2019, kata Nailul, berdasarkan data Kementerian BUMN 2019.

Masalah kedua, yaitu sejak tahun 2010, kata Nailul, nyaris tidak ada penambahan kompetitor di industri penerbangan domestik. Akibatnya tingkat konsentrasi hanya terfokus pada dua group penerbangan besar domestik yaitu Garuda Indonesia Group dan Lion Air Group.

Kedua perusahaan tersebut menguasai lebih dari 80% pangsa pasar nasional. Terlebih pada tahun kemarin ada pengambilalihan Sriwijaya Group oleh Garuda Indonesia yang menyebabkan tingkat konsentrasi dua perusahaan besar menjadi 96%.


Nailul menambahkan, monopoli perusahaan penerbangan utamanya meningkat pada low season di tahun 2019. Sebelumnya, di Indonesia pada low season, harga ditentukan oleh proses permintaan dan penawaran di pasar, namun saat ini perusahaan bebas menentukan harga dan masyarakat tidak mempunyai daya tawar dan pilihan lainnya.

"Akibatnya ukuran monopoli power (dilihat dari lerner index) meningkat di low season antara tahun 2018 dan 2019," imbuhnya.

Ketiga, adanya peningkatan Tarif Batas Bawah (TBB). Sebelum akhirnya menurunkan Tarif Batas Atas (TBA), pemerintah menaikan TBB penerbangan domestik dari 30% dari TBA menjadi 35% dari TBA.

"Kenaikan ini beralasan untuk melindungi perusahaan. Namun, masalahnya adalah perusahaan mana yang dilindungi ketika hanya ada dua grup perusahaan saja yang bermain dalam penerbangan domestik?" katanya.


Alasan tersebut sangat klise, tambah Nailul, mengingat tidak adanya perusahaan yang perlu perlindungan. Justru, perusahaan maverick (pengganggu bagi kartel) yaitu AirAsia Indonesia yang harusnya dilindungi. Pasalnya, dihilangkan dari travel online agent (TOA) yang diduga ada desakan dari pelaku kartel.

Masalah keempat, adanya pembiaran pengambilalihan maskapai. Nilai Herfindhal-Hirschman Index (HHI) akibat adanya pengambilalihan Sriwijaya oleh Garuda Indonesia adalah 4624 atau bertambah lebih dari 200. Menurut Nailul, ini patut dipertanyakan karena batasan pertambahan HHI akibat adanya pengambilalihan adalah 200.


"Permasalahannya adalah Pengambilalihan Sriwijaya Group juga dinilai telah menghilangkan kompetitor yang bisa menjadi pengganggu dan pesaing utama Garuda Indonesia dan Lion Air Group," jelasnya.

"Penggabungan ini untuk meningkatkan kolusi dan koordinasi. Tinggal Air Asia sendiri yang bersaing dengan dua maskapai besar di Indonesia." tutupnya. (prm)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2WGnhZa
June 17, 2019 at 03:03PM

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Simak, 4 Masalah Ini Ganggu Industri Penerbangan RI"

Post a Comment

Powered by Blogger.