Sektor primer sendiri meliputi lapangan usaha pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan, serta pertambangan dan penggalian.
Bahkan BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada sektor pertanian sepanjang tahun 2019 hanya berada di kisaran 2,2%-2,6%. Maka sektor tersebut mengalami pertumbuhan ekonomi yang paling rendah, setidaknya sejak tahun 2011.
Perlambatan kinerja sektor pertanian utamanya akan menyerang sektor-sektor yang berorientasi ekspor. Pasalnya perlambatan ekonomi saat ini utamanya disebabkan oleh adanya perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Foto: Taufan Adharsyah
|
Seperti yang diketahui, pekan lalu AS telah memberlakukan tarif sebesar 25% terhadap aneka produk China senilai US$ 200 miliar. Sementara China memberi tambahan bea impor sebesar 5%-25% terhadap produk made in USA senilai US$ 60 miliar mulai 1 Juni 2019 mendatang.
Itu akan membuat aliran perdagangan seluruh dunia terhambat, tidak terkecuali Indonesia.
Meskipun demikian BI memprediksi produksi kelapa sawit masih akan tinggi untuk memenuhi kebutuhan domestik sejalan dengan implementasi kebijakan biodiesel B-20.
Sejak 1 September 2018 pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk mencampur minyak sawit ke bahan bakar solar dengan komposisi 20%. Itulah yang belakangan dikenal dengan kebijakan B20.
Foto: Menteri Pertanian Amran Sulaiman melakukan pengisian bahan bakar biodiesel B100 di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (15/4/2019). Biodiesel yang berasal dari Crude Palm Oil (CPO) ini harapannya dapat dipergunakan secara umum di masyarakat. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
|
Selain itu, pertumbuhan sektor pertambangan dan penggalian diperkirakan berada di kisaran 1,8%-2,2% sepanjang tahun 2019. Itu juga merupakan yang paling lambat sejak tahun 2017. Tahun 2018, pertumbuhan sektor ini masih sebesar 2,16%.
Salah satu penyebabnya lagi-lagi adalah harga komoditas yang lebih rendah dibanding tahun sebelumnya.
"Secara rata-rata harga minyak pada 2019 dan 2020 diprakirakan lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata harga minyak pada 2018. Pasar minyak diperkirakan masih net-supply pada tahun 2019 dan 2020 terutama karena perlambatan permintaan," tulis BI dalam laporannya.
Sebagai informasi, pada Jumat kemarin (24/5/2019) harga minyak mentah jenis Brent (patokan pasar Asia dan Eropa) berada di posisi US$ 68,45/barel yang mana telah naik hingga 27% sejak awal tahun.
Penguatan harga minyak dibantu oleh kebijakan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam memangkas produksi hingga lebih dari 1,2 juta barel/hari. Namun produksi minyak Negeri Paman Sam yang melonjak membatasi penguatan harga.
Selain minyak ada pula harga batu bara, sang primadona ekspor Indonesia, yang juga mengalami nasib serupa.
Akibat perlambatan ekonomi global yang telah melanda sejak tahun lalu, dan diperkirakan terus melambat hingga 2019, harga batu bara bisa dibilang anjlok. Indeks harga batu bara yang dihimpun BI hingga akhir kuartal I-2019 berada di posisi 2,1. Lebih rendah dibanding tahun 2018 yang mencapai 2,5. Bahkan jauh lebih rendah dibanding tahun 2017 yang sebesar 48,2.
Sumber: Bank Indonesia
|
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas)http://bit.ly/2YO1b8I
May 26, 2019 at 01:45AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ada Perang Dagang, Pertanian dan Pertambangan RI Akan Loyo?"
Post a Comment