Perang dagang masih menjadi faktor yang membebani kinerja bursa saham Benua Kuning. Seperti yang diketahui, beberapa waktu yang lalu Presiden AS Donald Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif.
Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.
Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 70 entitas terafiliasi dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.
China pun kemudian berang dengan langkah AS tersebut. Kementerian Perdagangan China kemarin memperingatkan bahwa sanksi terhadap perusahaan-perusahaan seperti Huawei dapat meningkatkan tensi perang dagang.
Perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump memproyeksikan bahwa dalam waktu dekat, AS dan China akan mampu meneken kesepakatan.
"Ini sedang terjadi dan terjadi dengan cepat. Saya rasa (proses negosiasi) dengan China akan berlangsung cepat karena saya tidak bisa membayangkan mereka (China) dapat merasa senang dengan ribuan perusahaan keluar dari negaranya," tegas Trump dalam pidato di Gedung Putih, mengutip Reuters.
Namun, hal tersebut belum bisa meredakan kekhawatiran pelaku pasar. Pasalnya, hingga saat ini belum ada rencana konkret dari kedua negara untuk kembali menggelar negosiasi dagang. Selain itu, China sudah mempertimbangkan kebijakan balasan yang akan diluncurkan terhadap AS.
Menurut sebuah laporan dari South China Morning Post, China sedang mempertimbangkan untuk menghentikan pembelian gas alam dari AS. Pada tahun 2017, China diketahui membeli minyak mentah dan gas alam cair senilai US$ 6,3 miliar dari AS.
Kemudian, kisruh terkait proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) ikut memantik aksi jual di bursa saham Asia. Menjelang akhir pekan kemarin, Perdana Menteri Inggris Theresa May mengumumkan bahwa dirinya akan mundur pada 7 Juni. Keputusan tersebut diambilnya menyusul serangkaian kegagalan dalam membawa Inggris keluar dari Uni Eropa.
Sejumlah pengganti May menegaskan bahwa Inggris siap jika memang sampai terjadi No Deal Brexit. Artinya, Inggris berpotensi berpisah dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun.
Hal tersebut membuat pelaku pasar saham Asia memasang mode defensif dengan melepas instrumen berisiko seperti saham.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
http://bit.ly/2WueY6w
May 27, 2019 at 04:01PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Perang Dagang Hingga Brexit Bawa Bursa Saham Asia Terkoreksi"
Post a Comment