Search

2 Komisaris Tolak Laporan Keuangan Garuda 2018, Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua komisaris PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menyoroti kejanggalan dalam laporan keuangan 2018. Terdapat beberapa pos keuangan yang pencatatannya tak sesuai standar akuntansi yang membuat kinerja Garuda Indonesia untung pada 2018, padahal seharusnya merugi.

Keberatan mereka sampaikan terkait kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan. Dalam dokumen yang didapat oleh awak media, tertulis bahwa dua komisaris ini Chairal Tanjung dan Dony Oskaria.

Keduanya merupakan perwakilan dari PT Trans Airways, pemegang saham Garuda Indonesia dengan kepemilikan sebesar 25,61 persen.


Cerita kejanggalan tersebut bermula dari kerja sama itu dilakukan antara PT Mahata Aero Teknologi dan PT Citilink Indonesia, penyediaan koneksi wifi di armada pesawat.

Kerjasama tersebut kemudian diperluas ke Garuda Grup, yang juga mengikutkan Sriwijaya Air.

Dari situ, Garuda akan mendapatkan pembayaran dari Mahata Aero Teknologi sebesar US$239,94 juta. Pembayaran tersebut, US$28.000.000 di antaranya merupakan bagi hasil Garuda Indonesia dengan PT Sriwijaya Air.

Namun, hingga akhir 2018 belum ada pembayaran yang masuk dari Mahata Aero Teknologi. Walau begitu, Garuda Indonesia dalam laporan keuangan sudah mengakuinya sebagai pendapatan tahun lalu.


Dari pihak Trans Airways berpendapat angka itu terlalu signifikan hingga mempengaruhi neraca keuangan Garuda Indonesia. Jika nominal dari kerja sama tersebut belum masuk sebagai pendapatan, perusahaan sebenarnya masih merugi US$244.958.308.

"Adapun dengan mengakui pendapatan dari perjanjian Mahata maka perusahaan membukukan laba sebesar US$5.018.308," tulis Chairal dan Dony dalam surat yang ditujukan kepada manajemen Garuda Indonesia seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (24/4/2019).

Dua komisaris ini berpendapat dampak dari pengakuan pendapatan itu menimbulkan kerancuan dan menyesatkan. Masalahnya, keuangan Garuda Indonesia jadi berubah signifikan dari yang sebelumnya rugi menjadi untung.

Tak hanya itu, catatan tersebut membuat beban yang ditanggung Garuda Indonesia menjadi lebih besar untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Padahal, beban itu seharusnya belum menjadi kewajiban karena pembayaran dari kerja sama dengan Mahata belum masuk ke kantong perusahaan.

Chairal mengkonfirmasi keberatan surat itu kepada awak media usai Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada Rabu (24/4).

Ia mengatakan ada dua pendapat yang berbeda dalam penyajian laporan keuangan Garuda Indonesia periode 2018. Chairal sempat meminta agar keberatan itu dibacakan dalam RUPST, tapi atas keputusan pimpinan rapat permintaan itu tak dikabulkan.

"Tadi di rapat minta untuk dibacakan. Tapi pimpinan rapat tidak perlu dibacakan karena ada di dalam laporan komisaris dan dilekatkan di dalam laporan tahunan keuangan," ucap Chairal.

Dia mengaku hanya berupaya melakukan haknya sebagai salah satu komisaris untuk mengecek laporan keuangan. Namun, laporan itu disebut Chairal sudah diterima dalam RUPST oleh pemegang saham.

"Laporan tidak berubah, kan sudah diterima di RUPST. Tapi dengan dua catatan yaitu ada perbedaan pendapat. Itu saja," jelas Chairal.

Dengan perbedaan pendapat seperti ini, Chairal enggan berkomentar terkait posisi Trans Airways ke depannya sebagai pemegang saham di Garuda Indonesia.

Ditemui di tempat yang sama, Deputi Bidang Usaha Jasa Keuangan, Jasa Survei dan Jasa Konsultasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Gatot Trihargo enggan berkomentar banyak soal dua pendapat yang berbeda terkait laporan keuangan Garuda Indonesia 2018.

"Tanya ke direktur keuangan, kan semua sudah diaudit," ujar Gatot.

Ia menyebut sudah mempertanyakan perbedaan pendapat itu kepada manajemen. Hanya saja, Kementerian BUMN tak bisa ikut campur terlalu jauh karena Garuda Indonesia merupakan perusahaan terbuka.

"Ini kan perusahaan Tbk, kalau non-Tbk kami kan bisa masuk lebih dalam. Kalau Tbk kami nggak (bisa masuk lebih dalam) sebelum pengesahan, kami tahunya setelah audit," jelas Gatot.

Sementara, Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Fuad Rizal mengatakan keputusan perusahaan untuk memasukkan pendapatan dari Mahata sudah sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Manajemen percaya diri karena sudah diaudit secara independen.

"Laporan PSAK dimungkinkan untuk 2018 walau belum ada pendapatan yang diterima. Ini juga sudah audit independen dengan opini wajar tanpa pengecualian," ucap Fuad.

Ia mengatakan keberatan tersebut terjadi karena perbedaan pendapat antara salah satu komisaris dengan manajemen saja. Namun, mayoritas komisaris diklaim menyetujui laporan keuangan 2018.

Diketahui, Garuda Indonesia membukukan laba bersih sebesar US$ 809.846 sepanjang 2018. Realisasi berbanding terbalik dengan raihan 2017 yang merugi sebesar US$216.582.416.

Pendapatan perusahaan tahun lalu tercatat sebesar US$3.538.378.852. Angka itu naik dari 2017 yang sebesar US$3.401.980.804. (hps)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2XIDvlv
April 25, 2019 at 01:02AM

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "2 Komisaris Tolak Laporan Keuangan Garuda 2018, Ada Apa?"

Post a Comment

Powered by Blogger.