"Hal tersebut didorong oleh ekonomi global yang kuat dan kebutuhan pemanasan dan pendinginan yang lebih kuat di beberapa kawasan," ujar Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol melalui keterangan resminya terkait laporan Global Energy Demand 2018 yang dirilis pada Kamis (28/3/2019).
Lebih lanjut, ia menjelaskan, pada 2018 permintaan untuk semua bahan bakar meningkat, dengan bahan bakar fosil memenuhi hampir 70% dari pertumbuhan untuk tahun kedua berjalan.
Dalam laporan tersebut, dikatakan, gas alam muncul sebagai bahan bakar pilihan, membukukan keuntungan terbesar dan merupakan 45% dari kenaikan konsumsi energi. Pertumbuhan permintaan gas sangat kuat di Amerika Serikat (AS) dan China.
Selain itu, listrik terus memposisikan dirinya sebagai 'bahan bakar' masa depan, dengan permintaan listrik global tumbuh sebesar 4% pada 2018, menjadi lebih dari 23.000 TWh. Pertumbuhan yang cepat itu mendorong listrik menjadi 20% dari total konsumsi energi. Peningkatan pembangkit listrik memegang faktor atas setengah dari pertumbuhan permintaan energi primer.
Energi terbarukan adalah kontributor utama ekspansi pembangkit listrik ini, yang menyumbang hampir setengah dari pertumbuhan permintaan listrik. China tetap menjadi pemimpin dalam energi terbarukan, baik untuk angin dan matahari, diikuti oleh Eropa dan AS.
![]() |
Energi matahari dan angin tumbuh dengan kecepatan dua digit, yang mana tercatat energi matahari meningkat sebesar 31%. Namun, itu tidak cukup cepat untuk memenuhi permintaan listrik yang lebih tinggi di seluruh dunia yang juga mendorong penggunaan batu bara.
Pasalnya konsumsi batu bara global naik 0,7%, dengan peningkatan hanya terlihat di Asia, terutama di Cina, India, dan beberapa negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Sehingga, hal itu mengakibatkan emisi CO2 terkait energi global naik 1,7% menjadi 33 Gigaton (Gt) pada 2018. Penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik saja melampaui 10 Gt, yang merupakan sepertiga dari total emisi, sebagian besar berasal dari pembangkit listrik tenaga batubara di negara berkembang Asia.
Mayoritas kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara saat ini ditemukan di Asia, dengan rata-rata pembangkit berusia 12 tahun, beberapa dekade lebih singkat dari rata-rata masa hidup sekitar 50 tahun.
Lalu bagaimana Indonesia menanggapi kondisi ini?
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, pertumbuhan konsumsi energi di Indonesia yang paling besar adalah untuk kendaraan. Dengan melihat tren listrik ke depannya, maka menurutnya, Indonesia memang harus beralih dari bahan bakar minyak (BBM) ke listrik.
"Kalau sudah pakai listrik ya kita bisa berdaulat. Jadi kita dorong penggunaan kendaraan listrik," ujarnya ketika ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (28/3/2019).
Lalu, jika nanti sudah ada kendaraan listrik, buat apa kalau begitu Pertamina susah-susah bikin kilang?
Terkait hal ini, Arcandra pun menjawab,
"Ya, shifting semuanya kan di 2040, itu tidak jual kendaraan mesin yang pakai BBM, tapi kendaraan yang pakai BBM kan masih ada bukan?," tutup Arcandra.
Simak video terkait penjelasan Wakil Menteri ESDM terhadap perubahan skema kontrak wilayah kerja migas di bawah ini.
(miq/miq)
https://ift.tt/2TGEjVE
March 29, 2019 at 02:31AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Badan Energi Internasional: Konsumsi Batu Bara Masih Tinggi"
Post a Comment