Hal itu disampaikan Chatib saat menjadi pembicara dalam acara diskusi ekonomi dan politik 2019 di Bursa Efek Indonesia yang dihelat Kustodian Sentral Efek Indonesia, Kamis (14/3/2019).
Ekonom yang juga pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu menyebut, sinyal The Federal Reserve yang cenderung dovish akan memberikan sinyal kuat bagi BI lebih bersabar untuk tidak menaikkan bunga acuan. Terlebih lagi, Indonesia menghadapi tantangan transaksi berjalan yang masih defisit.
Dalam catatan BI, pada triwulan keempat 2018, transaksi berjalan defisit US$ 9,1 miliar atau 3,57% Produk Domestik Bruto (PDB), naik dari defisit pada kuartal sebelumnya sebesar US$ 8,6 miliar atau 3,28% dari PDB.
![]() |
Ruang menurunkan masih agak sulitChatib Basri |
Meski demikian, Chatib memproyeksikan, pada tahun ini, pasar keuangan akan kembali bergairah, baik di pasar modal maupun pasar obligasi. Sedangkan nilai tukar Rupiah diperkirakan kembali menguat.
"Jika Fed Fund Rate bertahan di level 2,25-2.5% dan yield bond US Treasury 10 tahun mungkin di level 2,6%, sedangkan yield obligasi kita 7,6%. Pasar obligasi kita sangat bullish," tuturnya.
Dijelaskan Chatib, kemungkinan adanya ruang untuk menurunkan bunga acuan Bank Indonesia masih akan ditentukan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve.
"Rupiah menguat dari Rp 15.000/US$ ke Rp 13.900/US$. Pesan apa, artinya penguatan Rupiah terjadi tahun ini, kemungkinan Fed akan satu kali naikkan bunga atau bahkan menghentikan bunga tahun ini," imbuhnya.
Sebagai informasi, tahun lalu, Bank Indonesia mengerek bunga acuan sebanyak 175 basis poin ke level 6%, kebijakan itu ditempuh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah dan mengendalikan defisit transaksi berjalan.
(dru)
https://ift.tt/2THkGkk
March 15, 2019 at 12:08AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "'Bunga Acuan BI Bakal Bertahan di Level 6% Sepanjang 2019'"
Post a Comment