Tema terakhir cukup menarik jika dibawa ke ranah ekonomi, mengingat RI sedang mengalami krisis hubungan yang cukup serius dengan Uni Eropa terkait isu kelapa sawit.
Pemerintah bahkan sampai mengancam akan melakukan retaliasi dagang dengan memboikot produk-produk UE apabila otoritas Benua Biru itu mengesahkan aturan pelaksanaan (delegated regulation) dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) di Parlemen Eropa.
Pemerintah juga berencana menggugat aturan tersebut di Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO, sebuah proses yang tentu memerlukan waktu lama dan memperkeruh hubungan ekonomi kedua pihak. Apalagi, Indonesia dan Uni Eropa sedang merundingkan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (Indonesia-EU CEPA) yang berpotensi melipatgandakan perdagangan dan investasi kedua pihak.
Data Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mencatat, total perdagangan RI-EU di tahun lalu mencapai US$ 29,4 miliar dengan Indonesia menikmati surplus US$ 1,2 miliar. Di samping itu, investasi Uni Eropa di Tanah Air pada tahun 2017 mencapai US$ 3,2 miliar.
Duta Besar Uni Eropa untuk RI Vincént Guerend bahkan mengklaim perusahaan-perusahaan Eropa saat ini memperkerjakan lebih dari 100 juta orang di Tanah Air.
Seperti diketahui, dalam aturan pelaksanaan tersebut, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global.
Oleh karena itu, pemerintah Uni Eropa berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga 0% pada 2030.
Hal ini tentu lampu merah bagi industri sawit RI, mengingat Uni Eropa adalah pasar ekspor CPO kedua sesudah India. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, Indonesia mengekspor 4,78 juta ton CPO ke Uni Eropa sepanjang 2018. Dari jumlah tersebut, sebesar 61% digunakan sebagai bahan baku biofuel.
Namun demikian, di luar komoditas sawit, Indonesia juga masih banyak mengimpor produk dari Benua Biru, baik itu barang modal/bahan baku maupun barang konsumsi.
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan menjelaskan, Indonesia membutuhkan sekitar 2.500 unit pesawat terbang sekelas A320 dalam 20 tahun ke depan dengan nilai lebih dari US$ 40 miliar.
Dengan sistem keamanan Boeing yang sedang dipertanyakan menyusul dua kecelakaan fatal dalam 6 bulan terakhir, tentu Indonesia tidak punya pilihan lain selain bertransaksi dengan Airbus, yang notabene dimiliki konsorsium beberapa negara anggota Uni Eropa seperti Perancis, Spanyol dan Jerman.
Lantas, menarik untuk disimak bagaimana strategi diplomasi ekonomi Capres 01 Joko Widodo dan 02 Prabowo Subianto menyikapi hubungan RI-Uni Eropa yang sedang berada di titik nadir.
[Gambas:Video CNBC] (gus)
https://ift.tt/2uD7lvk
March 31, 2019 at 01:08AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jelang Debat Pilpres, Isu Sawit RI vs Eropa Jadi Sorotan"
Post a Comment