"Saya sudah sampaikan, baru seminggu lalu dalam forum rapat kabinet; apakah perlu namanya menteri investasi dan menteri ekspor? Khusus sudah. Wong penyakit kita di situ. Di EU [Eropa] ada menteri khusus investasi, ada menteri ekspor, negara lain juga sama. Dari sisi kelembagaan kita perlu dua menteri itu," ujar Jokowi pada rakornas Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hari Selasa (12/2/2019).
Namun apakah benar kedua jabatan baru tersebut benar-benar sangat diperlukan dengan segera?
Bila melihat pertumbuhan nilai ekspor Indonesia beberapa tahun ke belakang, pertumbuhannya memang cenderung fluktuatif.
Bahkan sepanjang 2012-2016, pertumbuhan nilai ekspor Indonesia tercatat minus.
Salah satu penyebabnya adalah pengaruh perubahan harga komoditas dunia yang masih cukup besar terhadap nila ekspor. Bagaimana tidak, barang ekspor utama Indonesia sebagian besar merupakan barang setengah jadi, atau bahkan barang mentah.
Pada tahun 2018, dua komoditas ekspor utama adalah bahan bakar mineral (HS 27) dan minyak hewan/nabati (HS 15) yang menyumbang 24% dari total nilai ekspor.
Bila ditelusuri lebih dalam, golongan barang HS 27 yang keluar dari Indonesia didominasi oleh batu bara. Sedangkan golongan barang HS 15 didominasi oleh minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Adalah memang benar bila Jokowi mengatakan bahwa negara ini lebih menyukai ekspor barang mentah.
"Kita punya kekuatan besar baik SDM maupun SDA. Tapi kita ini senangnya ekspor barang mentah, raw material. Sudah berpuluh-puluh tahun kita tidak berani masuk hilirisasi, industrialisasi. Karet, raw material, CPO kita kirim crude-nya, padahal turunannya banyak sekali," ujarnya dalam rakornas BKPM, Selasa (12/3/2019).
Bila melihat dari permasalahan tersebut, agaknya pemerintah bukan perlu jabatan menteri ekspor, atau bahkan kementerian/lembaga khusus. Namun, pemerintah lebih membutuhkan Kementerian Perindustrian atau lembaga sejenis yang mumpuni untuk mendorong industrialiasi tanah air.
Lihat saja data kontribusi sektor manufaktur yang terus menurun dari tahun ke tahun. Bahkan terakhir, pada tahun 2018 kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tidak sampai 20%.
Bila pengolahan kelapa sawit yang hanya berupa proses ekstraksi minyak dikeluarkan dari kategori 'pengolahan', mungkin kontribusinya akan lebih kecil lagi.
Bila ingin menggenjot ekspor, promosi dan negosiasi perdagangan luar negeri memang dibutuhkan. Namun bila barang yang ingin dijualnya saja tidak memiliki daya saing, hasilnya akan tetap sama saja. Tim yang nantinya aktif mensosialisasikan produk-produk asal Indonesia akan kesulitan menggaet pelanggan.
Bahkan saat ini Kementerian Perindustrian sudah memiliki tugasnya yang spesifik, yaitu merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan di bidang perindustrian, seperti yang tertera di situs resminya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru)
https://ift.tt/2Jhb0sW
March 12, 2019 at 10:51PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Jokowi Pertimbangkan Ada Menteri Ekspor, Perlukah?"
Post a Comment