
Polemik terkait kenaikan gaji ini menghangat karena diwacanakan sejak pertengahan tahun lalu, dan direalisasikan Maret tahun ini. Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 tahun 2019 tentang Gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Dalam aturan itu, gaji PNS resmi dinaikkan sekitar 5% yang nilainya bervariasi tergantung pada golongan dan lama masa bakti. Kisarannya mulai dari Rp 73.000 untuk golongan paling rendah dengan masa bakti kurang dari setahun, hingga Rp 280.000 untuk golongan tertinggi.
Untuk menjawab apakah kenaikan yang "kurang seberapa" itu tergolong politis atau tidak, kita harus menimbang efektivitas kebijakan itu dengan menggunakan parameter masing-masing matra.
Mari kita mulai dari matra politik. Tahun ini jumlah pemilih yang terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 191 juta orang. Jika mengasumsikan kebijakan Jokowi ini politis, maka kita harus menghitung sejauh mana suara bisa diraup dari kebijakan itu.
Menurut data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), jumlah ASN di Indonesia adalah 4,35 juta orang.
Sejumlah orang itulah yang diasumsikan menjadi tambahan pasokan suara bagi kubu petahana jika memang kenaikan gaji dinilai menjadi pertimbangan utama ASN memberikan pilihan politiknya.
Namun, kita juga perlu memasukkan tambahan anggota keluarga dari ASN. Dengan mengacu pada data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas yang menyebutkan rerata jumlah anak di rumah tangga adalah 2,3 anak, maka ada empat orang voter (per 1 ASN) yang diuntungkan dari kebijakan ini.
Ini menggunakan basis asumsi paling optimistis bahwa dua dari anak tersebut adalah pemilih dan preferensi politik mereka sangat dipengaruhi kebijakan kenaikan gaji ASN. Dengan begitu, ada 17,4 juta orang pemilih yang berpeluang ditarik suaranya dari kebijakan ini.
Angka itu setara dengan 9,1% dari jumlah pemilih nasional. Lumayan besar karena setara dengan jumlah suara dari tiga provinsi, yakni Aceh (3,5 juta suara), Sumatera Utara (9,8 juta suara), dan Sumatera Barat (3,7 juta suara).
Namun, lagi-lagi kita harus menjawab pertanyaan penting ini: apakah kenaikan gaji mengubah preferensi politik warga? Sejauh ini belum ada laporan atau penelitian mengenai ini. Bisa ya, dan bisa tidak.
Manusiawi, Meski Efek Terhadap Konsumsi Kecil
Lalu bagaimana dengan matra ekonomi dan matra birokrasi. Pertama, apakah kenaikan gaji ASN ini memiliki efek yang signifikan terhadap konsumsi? Kalau melihat data, sebenarnya tidak signifikan.
Jumlah ASN sebanyak 4,35 juta orang itu hanya setara dengan 3,5% dari angkatan kerja di Indonesia yang-mengutip data Badan Pusat Statistik-mencapai 124 juta orang. Bandingkan dengan karyawan swasta yang jumlahnya mencapai 52 juta orang.
Jika bicara konsumsi masyarakat, maka 124 juta orang itulah yang memegang pelatuknya, bukan hanya 4,35 juta orang ASN. Tidak heran, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pun setuju dengan ini. Dampaknya kecil. "Ada dampaknya tentu, masa tidak ada. tapi tentu juga tidak besar," ujarnya kepada pers pada Selasa (19/3/2019).
Terakhir, secara birokratis, kenaikan gaji adalah apresiasi. Dalam titik ini, kita harus mengakui peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia telah membaik, tetapi tidak sekencang negara lain perbaikannya. Dan, faktor birokrasi masih menjadi pemberat utama perbaikan skor kita.
Kebanyakan terkait dengan aspek perizinan dan birokrasi, misalnya memulai usaha (peringkat 134), izin konstruksi (peringkat 112), dan pendaftaran aset properti (peringkat 100). Meski survei dilakukan di dua kota besar, tetapi keduanya (Jakarta dan Surabaya) mencerminkan kinerja ASN secara menyeluruh.
Jika di kota utama saja demikian, bagaimana dengan di kota kecil?
Namun, apakah kenaikan gaji ASN ini menjadi berlebihan? Penulis setuju dengan pendapat Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah bahwa kenaikan ini wajar terjadi jika melihat faktor inflasi. Kenaikan gaji ASN ini adalah yang kedua kali dalam 4 tahun terakhir.
"Ibaratnya, sudah lama prei dari kenaikan gaji, maka wajarlah jika akhirnya dinaikkan tahun ini," tuturnya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV pada Rabu (20/3/2019). Faktanya, ASN memang menghadapi kenyataan bahwa gaji mereka tergerus 13,1% (2015-2018), gara-gara inflasi rata-rata sebesar 3,275% per tahun.
Jika gaji mereka Rp 1 juta (2015), maka nilai riilnya berkurang menjadi setara Rp 869.000 (2018). </span>Dari situlah kenaikan gaji ASN tersebut menjadi terhitung manusiawi, terlepas dari ada-tidaknya efek sampingan (politis maupun ekonomi).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
https://ift.tt/2ulvia0
March 21, 2019 at 04:20AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kenaikan Gaji PNS Jelang Pilpres Bisa Dimaklumi?"
Post a Comment