Sepanjang pekan lalu, IHSG anjlok 1,8%. Sementara rupiah terdepresiasi 1,38% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Lalu imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun melesat 11,8 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena tertekan aksi jual.
Pekan lalu memang penuh ujian bagi pasar keuangan Asia. Pertama, China menargetkan pertumbuhan ekonomi 2019 di kisaran 6-6,5%. Melambat dibandingkan pencapaian 2018 yang sebesar 6,6%. Padahal pertumbuhan ekonomi 6,6% sudah merupakan yang paling lemah sejak 1990.
Kedua, ada kesan hubungan AS-Korea Utara menegang setelah pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un yang tanpa hasil di Vietnam. Kantor berita Yonhap melaporkan bahwa Korea Utara mulai membangun kembali misil yang dilucuti tahun lalu.
Aktivitas ini dilakukan di Tongchang-ri. Berdasarkan citra satelit, terlihat ada struktur landasan luncur (launchpad) misil dibangun antara 16 Februari hingga 2 Maret.
Ketiga, Bank Sentral Uni Eropa (ECB) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Zona Euro dari 1,7% menjadi 1,1% pada 2019. Untuk 2020, proyeksi pertumbuhan ekonomi juga dikoreksi ke bawah dari 1,7% menjadi 1,6%.
Berbagai perkembangan tersebut membuat investor ogah 'bermain api' dengan instrumen berisiko di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Pelaku pasar pun menjadi aman dengan pulang ke pelukan dolar AS, sang aset aman (safe haven).
Sepanjang minggu kemarin, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata yang utama dunia) menguat 0,45%. Sejak awal tahun, indeks ini sudah melonjak 1,18%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
(aji/aji)
https://ift.tt/2ENaX2m
March 11, 2019 at 01:04PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pantau Terus Dolar AS, Takutnya Masih 'Galak'"
Post a Comment