Search

Setahun Sudah CPO RI "Dikerjain" India, Saatnya Membalas?

Kebijakan India tersebut terjadi di tengah gelombang kekuatan populis di bawah Perdana Menteri (PM) Narendra Modi yang menggaungkan program 'Make in India'. Mirip seperti program Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Modi ingin membuat India berjaya kembali dengan berdiri di atas kekuatan sendiri.

Terdengar mulia, meski bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas. Namun, demikianlah adanya. Kebijakan tersebut lolos di Negeri Bollywood, dan berlaku sampai dengan sekarang. Akibatnya, ekspor CPO Indonesia ke India anjlok 12% secara tahunan (year on year/YoY) pada 2018.


Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan Indonesia mengekspor 6,71 juta ton CPO ke India tahun lalu, melemah dari posisi 2017 (7,63 juta ton).

Pemerintah sebenarnya sudah bertindak, dengan mengirim Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita ke New Delhi, India untuk membicarakan persoalan pengenaan bea masuk produk CPO tersebut pada September tahun lalu.

"Indonesia mengangkat isu peningkatan bea masuk CPO dari 7,5% menjadi 15% dan turunannya (olein) dari 15% menjadi 25%, sehingga menyebabkan penurunan daya saing produk andalan ekspor Indonesia ke India," kata Enggar dalam pernyataan ke media pada saat itu.

Negeri Kari tersebut sejauh ini mengimpor 60% atau setara dengan 15,5 juta ton minyak nabati setiap tahunnya. Malaysia dan Indonesia menjadi pemasok utama minyak sawit. Di luar itu, mereka mengimpor minyak nabati non-sawit seperti kedelai dari Argentina dan Ukraina.

Indonesia Masih Dianaktirikan

Lobi tersebut membuahkan hasil, meski belum memuaskan. India memang menurunkan bea masuk CPO Indonesia, meski hanya seuprit dan itupun dengan menafikan prinsip kesetaraan (level playing field) karena bea masuk untuk produk sawit Indonesia ditetapkan lebih tinggi ketimbang bea masuk produk Malaysia.

India memangkas besaran bea masuk CPO menjadi 40% dari sebelumnya 44%, sedangkan pajak untuk minyak sawit olahan dipangkas dari sebelumnya 54% menjadi 45% (jika diimpor dari Malaysia) dan 50% (jika diimpor dari Indonesia).

Karenanya, wajar saja jika Gapki pun geram. Ketua Umum Gapki Joko Supriyono belakangan mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan balasan dengan menerapkan bea masuk terhadap produk impor dari India.

"Saya selalu mendorong pemerintah. Cobalah kita berbicara lebih luas, saya pikir lanskapnya bukan hanya sawit. Apa yang kira-kira bisa diretaliasikan. Kita berbicara kemungkinan gula India," tuturnya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV pada Selasa (12/3/2019).

Pemerintah dan Gapki, lanjutnya, tengah secara intens mendiskusikan peluang menuju ke sana. "Mudah-mudahan dengan retaliasi ini bisa menjadi faktor yang membuat mereka mau merevisi," ujarnya.

Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, beberapa produk pangan impor asal India yang bisa dikenakan bea masuk sebenarnya cukup banyak. Namun, di antara beberapa produk tersebut yang aman untuk dikenai tarif dalam arti memiliki substitusi pasokan alternatif adalah daging dan gandum.

Alasannya, taktis saja. Indonesia telah meneken kerja-sama ekonomi komprehensif (Comprehensive Economic Partnership Agreement/CEPA), di mana produk Australia mendapatkan manfaat dengan penghapusan bea masuk impor produk-produk tersebut.

Dengan demikian, seretnya pasokan produk impor asal India dengan mudah digantikan oleh produsen barang sejenis dari Australia. Jika mereka bisa melakukan itu, kenapa kita tidak? Ini kepentingan nasional, Bung!

TIM RISET CNBC INDONESIA

(ags/ags)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2F7EdlY
March 13, 2019 at 04:29AM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Setahun Sudah CPO RI "Dikerjain" India, Saatnya Membalas?"

Post a Comment

Powered by Blogger.