Pada 2018 lalu, rupiah sempat tertekan hingga menembus Rp 15.000/US$. Ini karena CAD yang naik tinggi. Di 2018 lalu, CAD Indonesia mencapai 2,98% dari PDB atau nominalnya adalah US$ 31 miliar. Jumlah ini naik cukup tinggi dibandingkan 2017 yang angkanya 1,6% dari PDB atau nominalnya US$ 16,2 miliar.
Tahun ini, Bank Indonesia (BI) menargetkan CAD bisa turun hingga ke angka 2,5% dari PDB. Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, mengatakan sektor pariwisata bisa menjadi andalan meningkatkan pendapatan devisa dolar dan menekan CAD dalam jangka panjang. Bila ini terjadi, tekanan dolar AS kepada rupiah bisa berkurang.
"Kita bisa meniru Thailand yang mendapat banyak devisa dari pariwisata. Indonesia banyak spot atau tempat yang bisa diandalkan untuk pariwisata," kata Mirza kepada sejumlah wartawan saat berkunjung ke Pulau Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, akhir pekan lalu.
Foto: Wahyu Daniel
|
Mirza menjelaskan data yang dimiliki BI terkait perbedaan CAD antara Indonesia dengan Thailand pada 2017 lalu.
Di tahun tersebut, Indonesia mengalami CAD senilai US$ 17,52 miliar atau 1,74% dari PDB. Sementara Thailand di tahun yang sama mengalami surplus transaksi berjalan senilai US$ 48,13 miliar atau 10,57% dari PDB.
Bila diperinci lagi, neraca sektor jasa Indonesia yang merupakan bagian dari perhitungan transaksi berjalan, di tahun tersebut mengalami defisit US$ 7,83 miliar. Sementara Thailand surplus US$ 29,81 miliar.
Surplus neraca jasa Thailand yang cukup besar ini ditopang dari pendapatan sektor pariwisatanya.
Tantangan untuk membangun sektor pariwisata di Indonesia memang cukup besar. Harus ada konektivitas yang kuat, agar daerah-daerah wisata andalah di seluruh Indonesia bisa dicapai dengan mudah oleh wisatawan.
Tim riset CNBC Indonesia pernah menulis, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Pariwisata (Kemenpar), pada 2016 terdapat tiga sektor utama yang menyumbangkan devisa ke dalam negeri. Sektor-sektor tersebut adalah CPO, pariwisata, dan minyak dan gas (migas).
Dari ketiga sektor utama tersebut, hanya pariwisata saja yang mampu mencatatkan pertumbuhan positif dalam setahun terakhir. Pada 2016, sektor pariwisata diperkirakan menyumbang devisa negara US$ 13,57 miliar, atau naik 11,05% dari capaian pada 2015.
Foto: Pembangunan jalan akses sepanjang 41,08 Km ke Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Wisata Mandeh yang berada di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. (Biro Pers Kementerian PUPR)
|
Pemerintah memang menargetkan, sektor pariwisata menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia pada 2020. Sektor komoditas tidak bisa optimal menghasilkan devisa bagi negara, karena tergantung pada harga. Bila harganya sedang lesu, aliran devisa tentu tidak bisa maksimal.
Ada yang berpendapat, industri manufaktur harus menjadi motor utama dalam menggenjot devisa nasional. Namun, harus diakui, memajukan industri memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Katakan saja, menggenjot investasi di sektor industri pengolahan saat ini, mungkin hasilnya baru terasa tiga tahun ke depan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan rupiah di jangka pendek, sektor pariwisata yang bisa menjadi harapan.
Pemerintah merencanakan penciptaan '10 Bali Baru' yang terdiri dari Tanjung Kelayang, Borobudur, Labuan Bajo, Danau Toba, Tanjung Lesung, Bromo Tengger Semeru (BTS), Wakatobi, Kepulauan Seribu, Mandalika, dan Morotai.
Kesepuluh destinasi baru ini dituangkan dalam 10 destinasi wisata prioritas di dalam rencana kerja pemerintah. Khusus untuk Mandalika, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, dan Morotai bahkan ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata.
Kita tunggu perkembangan rencana sepuluh destinasi wisata ini. Berharap daya tahan ekonomi Indonesia bisa makin kuat dengan devisa yang melimpah.
Simak video terkait cadangan devisa Indonesia di bawah ini.
(miq/miq)https://ift.tt/2JiugX1
March 11, 2019 at 03:45PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Tak Mau Rupiah 'Dibully' Dolar? Tirulah Pariwisata Thailand"
Post a Comment