Hingga pukul 12:35 WIB, harga minyak jenis Brent kontrak April menguat 0,88% ke posisi US$ 66,61/barel, setelah amblas 0,54% kemarin (28/2/2019).
Sedangkan harga minyak jenis lightsweet (WTI) naik 0,38% ke level US$ 57,44/barel, melanjutkan penguatan yang kemarin ditutup sebesar 0,49%.
Selama sepekan, harga minyak terkoreksi sekitar 0,2% secara point-to-point. Sedangkan sejak awal tahun, harganya sudah naik sekitar 25%.
Naiknya harga minyak hingga saat ini didorong oleh optimisme pelaku pasar akan pasokan minyak yang semakin ketat di pasar global.
Teranyar, berdasarkan data dari perusahaan minyak nasional Venezuela, PDVSA yang dilansir dari Reuters kemarin (28/2/2019), ekspor minyak Venezuela telah turun hingga 40%.
Hal tersebut diakibatkan oleh sanksi yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) pada perusahaan minyak tersebut terkait gejolak politik yang melanda Venezuela. Sanksi tersebut melarang penduduk AS, baik perorangan dan perusahaan, untuk membeli minyak asal Venezuela.
Padahal diketahui bahwa hampir seluruh minyak jatah ekspor Venezuela dikirim ke AS pada kondisi normal (sebelum adanya sanksi).
Reuters mengabarkan bahwa sejak 28 Januari, hampir 70% pengiriman minyak Venezuela mengarah ke pasar-pasar di Asia, dengan India sebagai tujuan utama, diikuti Singapura dan China.
Tampaknya Venezuela masih kesulitan untuk mencari pembeli baru atas minyaknya, terbukti dari jumlah ekspor yang turun.
Selain itu, gerakan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bersama Rusia dan sekutunya, yang beritikad untuk mengurangi pasokan minyak masih memberikan sentimen negatif bagi pergerakan harga.
Seperti yang telah diketahui, OPEC dan sekutunya sepakat untuk mengurangi produksi minyak hingga 1,2 juta barel/hari pada awal Desember 2018 silam. Menyusul kesepakatan tersebut, OPEC sudah hampir memenuhi janjinya dengan melakukan pemangkasan produksi hingga 797.000 barel/hari pada bulan Januari.
Namun demikian, sinyal-sinyal potensi terjadinya banjir pasokan di pasar minyak juga memberikan tarikan ke bawah pada pergerakan harga.
Kemarin Departemen Energi AS telah memberikan penawaran untuk menjual minyak mentah dari cadangan darurat nasional sebanyak 6 juta barel untuk menggalang dana modernisasi fasilitas perminyakan atas mandat yang telah ditandatangani Presiden AS, Donald Trump tahun lalu.
Meskipun hanya akan mempengaruhi pasar dalam jangka pendek, pengumuman tersebut menjadi peringatan terhadap OPEC bahwa AS masih bisa melakukan upaya untuk menurunkan harga minyak, setidaknya untuk sementara.
Selain itu, aktivitas manufaktur China ternyata masih lesu, tercermin dari Purchasing Manager's Indeks (PMI) manufaktur versi Caixin periode Februari yang masih sebesar 49,9. Angka di bawah 50 berarti terjadi kontraksi, dan berlaku sebaliknya.
Dampaknya pun meluas. Nilai ekspor Korea Selatan periode Februari juga ikut terkontraksi sebesar 11,1%, yang merupakan penurunan paling tajam sejak hampir 3 tahun terakhir. Penyebab utamanya adalah permintaan yang masih lesu, terutama dari China.
Bukti-bukti baru perlambatan ekonomi tersebut menyebabkan pelaku pasar kembali mencemaskan permintaan minyak. Pasalnya, kala ekonomi melambat, permintaan energi juga bisa terpangkas.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/gus)
https://ift.tt/2SAiztU
March 01, 2019 at 07:49PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Pasokan ke AS Makin Seret, Harga Minyak Lanjut Menguat"
Post a Comment