
Tarik-menarik antara sentimen positif berupa ekspektasi atas dovish-nya The Federal Reserve dan sentimen negatif berupa No-Deal Brexit membuat bursa saham Benua Kuning bingung menentukan arah.
Pada Selasa-Rabu waktu setempat, Jerome 'Jay' Powell dan sejawat akan menggelar rapat bulanan untuk memutuskan suku bunga acuan plus mengumumkan pembacaan terkini mengenai kondisi perekonomian AS.
Investor berekspektasi bahwa The Federal Reserves (The Fed) akan memilih bersikap anteng (dovish) dan mempertahankan suku bunga acuan (Federal Funds Rate) di level 2,25-2,5%. Bahkan ada ruang bagi The Fed untuk menurunkannya ke 2-2,25% dengan peluang 23,2%.
Namun, sentimen positif dari The Fed tersebut diselimuti dampak perekonomian yang mungkin timbul dari alotnya negosiasi dagang AS-China dan semakin besarnya peluang perceraian Inggris-Uni Eropa tanpa kesepakatan (No-Deal Brexit).
Perkembangan terbaru mengatakan, pertemuan lanjutan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping nampaknya akan diundur hingga Juni. Melansir dari South China Morning Post, seorang sumber mengatakan bahwa masih ada perbedaan dari sisi AS terkait dengan kesepakatan dengan China.
Alhasil, dengan semakin berlarut-larut-nya negosiasi dagang, kemungkinan bahwa kedua negara tidak bisa mencapai kesepakatan menjadi semakin besar.
Lebih lanjut, keresahan juga datang seiring dengan Parlemen Inggris yang tidak memperbolehkan pemungutan suara lanjutan atas proposal Brexit yang diajukan Perdana Menteri Theresa May. Alasannya, proposal tersebut tidak mengandung perubahan dari segi fundamental.
Keputusan parlemen Inggris tersebut tentunya semakin meningkatkan peluang bahwa Inggris akan berpisah dengan Uni Eropa tanpa kesepakatan (No-Deal Brexit). Jika ini yang terjadi nantinya, tentu perekonomian Inggris akan mendapatkan tekanan yang sangat signifikan.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mengakibatkan resesi atau penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia.
Dilansir dari Reuters, besar kemungkinan perusahaan di Asia akan mengeluarkan dana modal (capital expenditure/capex) sekitar 4% lebih kecil tahun ini seiring dengan ketidakpastian yang menyelimuti perang dagang dan Brexit. Sementara itu, pertumbuhan pendapatan akan relatif stagnan di angka 3,3%.
Di lain pihak, rilis data ekonomi yang menggembirakan membuat indeks Straits Times dan Hang Seng justru rebound pada penutupan perdagangan setelah sebelumnya sempat berada di zona merah.
Indeks Straits Times mencatatkan penguatan sebagai respon positif atas pengumuman surplus neraca perdagangan untuk bulan Februari sebesar S$ 5,2 miliar atau setara dengan Rp 54,69 triliun (1 SGD = Rp 10.519,92).
Ekspor Singapura untuk produk selain minyak (non-oil domestic export) meningkat 4,9% year-on-year (YoY), lebih tinggi dibanding konsensus pasar sebesar 3.4% YoY. Ini merupakan pertumbuhan positif NODX pertama sejak Oktober tahun lalu, seperti dilansir dari Trading Economics.
Lebih lanjut, Hang Seng juga memberikan respon positif atas rilis data pengangguran Hong Kong yang konsisten berada di level terendahnya sejak Januari 1998. Tingkat pengangguran Hong Kong dilaporkan masih bertahan di level 2,8%.
Hal ini berarti, pemerintah Hong Kong mampu menjaga pertumbuhan ekonomi di bulan Februari 2019 di tengah isu perlambatan ekonomi dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA (dwa/hps)
https://ift.tt/2TW1Sh7
March 20, 2019 at 01:32AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bursa Saham Asia Galau karena The Fed, Damai Dagang dan Brexit"
Post a Comment