Secara teknikal, persilangan turun (dead cross) mulai terbentuk, hal ini terlihat dari indikator teknikal moving average convergence and divergence (MACD).
![]() |
Ruang pelemahan rupiah secara momentum kembali terbuka, hal ini dikarenakan rupiah belum memasuki wilayah jenuh belinya (overbought), menurut indikator teknikal Stochastic slow (SS).
Rupiah sempat mengalami penguatan belakangan ini kala data neraca dagang Indonesia Februari diumumkan surplus US$ 330 juta.
Penguatan lainnya berasal dari negeri Paman Sam. The Fed melalui Federal Open Market Committee/FOMC mempertahankan kebijakan suku bunga acuannya di rentang 2,25%-2,5% atau median 2,375%.
Hal ini memberikan ruang bagi mata uang negara berkembang untuk menguat dikarenakan "sweetener" berinvestasi di AS menjadi tidak bertambah.
Namun, kini situasinya seperti berbalik di mana rupiah tertekan luar dan dalam. Dari dalam negeri, rupiah tertekan karena tingginya kebutuhan valas korporasi untuk membayar dividen atau utang pada akhir kuartal I.
Kewajiban tersebut seakan rutin terulang sehingga rupiah pun banyak dijual untuk ditukarkan ke valas sehingga mata uang Tanah Air melemah.
Sedangkan dari sisi eksternal, sentimen yang mendominasi pasar adalah potensi risiko resesi di AS. Pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam mengalami inversi terbalik (inverted yield curve).
Pada pukul 10:21 WIB, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 3 bulan berada di 2,4527%. Sementara untuk tenor panjang 10 tahun adalah 2,439%. (yam/hps)
https://ift.tt/2Fwv4T0
March 25, 2019 at 06:57PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Faktor Eksternal Bikin Rupiah Sulit Naik"
Post a Comment