Indonesia dan seluruh dunia ikut terguncang akibat krisis ekonomi di negeri Paman Sam. Sepuluh tahun setelah itu, tepatnya di 2018, ekonomi dunia juga mengalami guncangan, khususnya setelah Bank Sentral AS, yaitu Federal Reserve (The Fed) melakukan kenaikan suku bunga acuan beberapa kali. Ini memberikan tekanan kepada mata uang di sejumlah negara termasuk Indonesia.
Tahun lalu, rupiah tertekan hingga menembus level Rp 15.000/US$. Bank Indonesia (BI) harus menaikkan suku bunga acuan beberapa kali untuk menahan pelemahan rupiah. Entah apa yang terjadi bila rupiah terus melemah hingga di atas Rp 15.000/US$ saat itu.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
|
Siklus sepuluh tahunan guncangan ekonomi ini memang dipercayai terjadi. Karena sepuluh tahun sebelum 2008, tepatnya di 1998, krisis ekonomi juga terjadi, termasuk di Indonesia.
Bagaimana prospek ekonomi Indonesia di 2019 ini?
"Kita memasuki era yang baru lagi setelah siklus 10 tahunan 2008-2018," kata Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, kepada sejumlah wartawan saat berkunjung ke Pulau Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, akhir pekan lalu.
Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Februari 2019 lalu, Mirza mengatakan setidaknya ada tiga hal yang menjadi fokus perhatian BI.
Pertama adalah BI ingin menjaga defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) menuju ke level 2,5% dari PDB. Di 2018 lalu, tingkat CAD Indonesia tinggi, yaitu 2,98% dari PDB atau nominalnya adalah US$ 31 miliar. Jumlah ini naik dibandingkan level 2017 yang tercatat 1,6% dari PDB atau nominalnya US$ 16,2 miliar.
Fokus kedua BI di tahun ini adalah perkembangan suku bunga acuan di AS yang menurut Mirza sudah hampir mencapai puncaknya.
Ketiga, BI akan menjamin kecukupan likuiditas di perbankan dalam rangka menopang pertumbuhan ekonomi dalam koridor CAD turun menuju 2,5% dari PDB.
Foto: Rapat Dewan Gubernur BI (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
|
Dari analisis sementara BI di awal tahun ini, kondisi ekonomi global di 2019 tergolong kondusif untuk negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Prediksi suku bunga acuan AS yang kenaikannya tidak akan seagresif 2018, membuat ekonomi Indonesia cenderung lebih stabil.
Mirza mengatakan, 2013-2018 merupakan tahun keluarnya arus modal asing (capital outflow) dari Indonesia, karena rencana kenaikan suku bunga acuan AS yang terjadi.
"Indonesia sangat erat dengan suku bunga acuan AS, karena Indonesia butuh pendanaan dari luar negeri," ujar Mirza.
"2019 harusnya periode yang lebih stabil. Masuk era baru, karena suku bunga acuan AS sudah tidak jadi faktor dominan lagi. Memang suku bunga acuan AS belum sampai puncaknya. BI mengatakan suku bunga AS akan satu kali naik di 2019," lanjutnya.
Meski begitu, ujar Mirza, faktor yang menjadi tantangan adalah perlambatan ekonomi China. Mantan Kepala Ekonom Bank Mandiri itu bercerita, di 2007 lalu, ekonomi China bisa tumbuh hingga 14%. Namun di 2018 Negeri Tirai Bambu hanya mampu tumbuh sekitar 6,6%. Sementara di tahun ini, ekonomi China hanya diprediksi hanya tumbuh di kisaran 6%-6,5%.
Menurut Mirza, perlambatan pertumbuhan ekonomi China ini akan berdampak kepada Indonesia lewat penurunan harga komoditas yang menjadi tumpuan ekspor dan pertumbuhan ekonomi.
"Melambatnya ekonomi China ini awalnya karena disengaja agar tidak panas dan menimbulkan bubble, tapi tampaknya agak terlalu lambat atau kebablasan," kata Mirza.
Proyeksi BI, ekonomi Indonesia di 2019 akan tumbuh 5%-5,4%. Namun, bisa lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi di 2018 yang mencapai 5,17%. Mirza cukup optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2019 akan lebih baik dari 2018. Angkanya bisa di 5,2% atau 5,3%.
Berikut perincian komponen pertumbuhan ekonomi di 2019 menurut proyeksi BI:
- Konsumsi rumah tangga tumbuh 5,1%-5,5% dibandingkan 2018 yang tumbuh 5,05%
- Belanja pemerintah tumbuh 2,7%-3,1% dibandingkan 2018 yang tumbuh 4,8%
- Investasi tumbuh 6,5%-6,9% dibandingkan 2018 yang tumbuh 6,67%
- Ekspor tumbuh 6,8%-7,2% dibandingkan 2018 yang tumbuh 6,48%
- Impor tumbuh 9,9%-10.3% dibandingkan 2018 yang tumbuh 12,04%
Sementara proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 menurut sektor versi BI adalah:
- Agrikultur, peternakan, kehutanan, dan perikanan tumbuh 3,2%-3,6% dibandingkan 2018 yang tumbuh 3,91%
- Pertambangan dan ekskavasi tumbuh 1%-1,4% dibandingkan 2018 yang tumbuh 2,16%. Ini karena harga komoditas yang belum bisa bangkit
- Industri manufaktur tumbuh 4,3%-4,7% dibandingkan 2018 yang tumbuh 4,27%
- Listrik, gas, dan air minum tumbuh 3,4%-3,8% dibandingkan 2018 yang tumbuh 5,47%
- Konstruksi tumbuh 6,6%-7% dibandingkan 2018 yang tumbuh 6,09%
- Perdagangan dan makanan minuman tumbuh 5%-5,4% dibandingkan 2018 yang tumbuh 5,1%
- Transportasi, pergudangan, informasi dan telekomunikasi tumbuh 8,2%-8,6% dibandingkan 2018 yang tumbuh 7,03%
- Jasa keuangan tumbuh 5%-5,4% dibandingkan 2018 yang tumbuh 4,87%
- Jasa lainnya tumbuh 5,3%-5,7% dibandingkan 2018 yang tumbuh 6,85%
Simak video terkait cadangan devisa RI di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC] (wed/miq)
https://ift.tt/2VNVo1l
March 11, 2019 at 02:10PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Usai Siklus 10 Tahunan, Ini Prospek Ekonomi RI 2019 Versi BI"
Post a Comment