Nilai impor ampas/sisa industri makanan sepanjang Januari-Desember 2018 mencapai US$ 3,06 miliar atau sekitar Rp 42 triliun, naik 15,28% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan berkontribusi 1,93% dari total nilai impor non-migas.
Wakil Ketua Komite Tetap Industri Pakan dan Veteriner, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) FX Sudirman menjelaskan, sebenarnya penggunaan istilah ampas/sisa industri makanan kurang tepat untuk digunakan karena bisa menimbulkan persepsi negatif di publik.
"Orang kan pasti bertanya-tanya, kok kita mengimpor ampas makanan sedemikian besar? Padahal sebenarnya itu 100% digunakan sebagai bahan baku pakan ternak dan tidak diproduksi di dalam negeri," ujar Sudirman kepada CNBC Indonesia, Kamis (7/2/2019) malam.
Dia menyarankan BPS agar bisa merevisi nomenklatur kode HS tersebut supaya bisa lebih dipahami masyarakat umum. Dia menjelaskan, nilai impor tersebut sebenarnya hampir 100% dipenuhi impor bungkil kedelai (soyabean meal).
Bungkil kedelai (kode HS 2304) adalah salah satu hasil dari ekstraksi/pengolahan kedelai, selain minyak kedelai (soybean oil) tentunya.
Bungkil kedelai merupakan sumber protein tinggi untuk pakan ternak sehingga menjadi pilihan industri pakan di Tanah Air.
Selama ini, bungkil kedelai memang selalu diimpor dari Brasil dan Argentina sebagai dua produsen utama global, dengan porsi impor yang hampir sama.
"Jadi saran saya kepada BPS supaya lebih detail penamaannya, padahal itu sumber protein tinggi. Kita kan memang importir kedelai, wong untuk tahu tempe saja impor. 2017 lalu kita importir terbesar kedua bungkil kedelai sesudah Uni Eropa. Tahun lalu mungkin kita kalah oleh Vietnam karena industri pakan ternak mereka juga berkembang pesat, khususnya babi," jelas Sudirman.
Dia menjelaskan, industri pakan RI cenderung mengimpor bungkil kedelai dari Brasil dan Argentina karena kedua negara itu memilih mengolah biji kedelainya terlebih dahulu di dalam negeri, berbeda dengan produsen utama lainnya, AS.
"Brasil itu nggak mau ekspor kedelai mentah, dia kenakan bea ekspor. Jadi mereka olah dulu, minyak kedelainya mereka gunakan. Nah kita hanya impor bungkil karena di sini kan minyak goreng kita pakai CPO. Beda lagi dengan China yang tiap tahun impor sekitar 100 juta ton kedelai, mereka olah di dalam negeri," jelasnya.
Sudirman menyebutkan, proporsi bahan baku dalam pakan ternak umumnya terdiri dari 50% jagung, 25% bungkil kedelai dan 25% bahan lain seperti tepung daging dan tulang serta bungkil inti sawit (palm kernel meal). Namun dari nilainya, 25% bungkil kedelai jauh lebih mahal harganya dibandingkan kandungan jagung.
Saksikan Video Tentang Kedaulatan Energi dan Pangan di Bawah Ini
[Gambas:Video CNBC]
"Harga soyabean meal itu US$ 450 per metrik ton (CNF). Ini jauh lebih mahal dibandingkan beras yang mungkin hanya sekitar US$ 300 per metrik ton. Tahun lalu kita impor 3,5 atau 4,5 juta ton, saya lupa, tapi yang jelas naik tipis 5-6%," katanya.
Sudirman mengakui, memang ada upaya dari pemerintah dan industri untuk mensubstitusi penggunaan bungkil kedelai dengan bungkil inti sawit.
Masalahnya, belum banyak perusahaan sawit yang bisa mengolah bungkil inti sawit sebagai bahan baku pakan ternak.
"Biayanya mahal kalau industri pakan yang harus mengolah. Tapi saya rasa pemerintah punya itikad baik untuk mendorong penyerapan palm kernel meal di dalam negeri dengan cara mengenakan pungutan ekspor," jelasnya.
Sudirman mendorong pemerintah lebih banyak melakukan penelitian untuk mengolah bungkil inti sawit sebagai bahan baku pakan, agar impor bungkil kedelai dapat dikurangi di masa depan. Pasalnya, dia meyakini konsumsi pakan ternak dapat naik hingga dua kali lipat dalam 10 tahun mendatang.
![]() |
http://bit.ly/2RLQnDZ
February 08, 2019 at 05:48PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "RI Impor Ampas Makanan Rp 42 T, Buat Apa?"
Post a Comment