Penandatanganan dilakukan di Ballroom Hotel JS Luwansa, Jakarta, oleh Menteri Perdagangan RI, Enggartiasto Lukita, dan Menteri Perdagangan, Pariwisata, dan Investasi Australia Simon Birmingham. Turut menyaksikan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK).
Dalam perjanjian yang telah ditandatangani tersebut, Indonesia akan membebaskan bea impor untuk 100% produk asal Negeri Kanguru. Akan tetapi hanya 94% dari produk Indonesia yang akan dibebaskan masuk ke Australia tanpa dikenakan bea impor.
Dilihat dari sisi perdagangan barang, tampaknya perjanjian ini memang agak berat sebelah. Bagaimana tidak, dari jumlah barang yang dibebaskan dari bea impor saja sudah tak sama.
Tentunya hal ini akan menguntungkan Australia. Pasalnya, sudah sejak lama neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit yang cukup besar dengan Australia. Bahkan pada 2017, defisitnya mencapai US$ 3,49 miliar.
Komoditas utama asal Australia yang masuk sebagai barang impor adalah golongan barang dengan kode HS 27, yaitu bahan bakar mineral, yang mana tercatat masuk senilai US$ 1,64 miliar pada 2017. Utamanya berasal dari batu bara, yang merupakan komoditas ekspor andalan Australia. Selain itu komoditas tanaman biji-bijian, yang didominasi oleh gandum, juga banyak masuk ke Indonesia, dan mencapai US$ 1,33 miliar.
Bila keran impor makin diperlebar dengan cara menghapus tarif masuk, bahkan seluruhnya, maka besar kemungkinan nilai perdagangan Impor asal Australia juga akan terkerek naik.
Dari segi Investasi, memang benar Australia masuk ke dalam 20 besar negara yang aktif menanamkan modal di sektor riil dalam negeri. Pada 2017, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) membukukan investasi US$ 513,9 juta datang dari Australia.
Degan adanya perjanjian baru ini, harapannya nilai investasi akan meningkat. Pasalnya, pemerintah akan memberikan keuntungan lebih seperti kepemilikan saham yang lebih besar untuk Investor asal Australia. Bahkan untuk sektor pendidikan, kepemilikan Australia bisa mencapai 65% pada perjanjian baru ini.
Hanya saja, nilai investasi dari Australia masih terbilang cukup kecil dibandingkan total Penanaman Modal Asing (PMA) yang masuk ke Indonesia. Bahkan pada 2017, investasi dari Negeri kanguru hanya mampu menyumbang sekitar 1,5% dari seluruh dana investasi asing yang masuk ke sektor riil.
Selain itu, meningkatnya kepemilikan saham juga berarti akan mengerek nilai dividen yang harus dibayarkan kepada investor asing di kemudian hari. Pada 2018 saja nilainya sudah mencapai US$ 20,92 miliar, dan tercatat terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan, tingginya pembayaran dividen investasi tahun lalu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan defisit neraca pembayaran menjadi yang paling parah sepanjang sejarah.
Bila hanya memperhitungkan nilai investasi dan perdagangan barang, neraca pembayaran Indonesia dengan Australia masih tercatat defisit sebesar US$ 2,98 miliar. Artinya masih ada pekerjaan yang cukup besar untuk bisa menambal defisit tersebut.
Kalau sudah begini, nilai ekspor ke Australia harus benar-benar digenjot. Karena bila tidak, defisit neraca pembayaran bisa semakin dalam, yang bisa menyebabkan rupiah kurang energi untuk menghadapi tekanan dari gejolak eksternal.
TIM RISET CNBC INDONESIA (taa/miq)
https://ift.tt/2EyZDqj
March 04, 2019 at 09:27PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "IA-CEPA Diteken, RI Untung Atau Rugi?"
Post a Comment