
Isi surat Zul meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pihak berwajib menghentikan praktek pinjaman online yang menurutnya telah menjadi "jebakan setan".
Direktur Marketing Communication dan Community Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) Tasa Barley mengatakan, menggunakan fasilitas pinjaman online yang ilegal memiliki risiko yang tinggi. Seharusnya, menurut Barley, masyarakat memeriksa terlebih dahulu mengecek apakah perusahaan fintech itu terdaftar atau tidak di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pasalnya, perusahaan pinjaman online ilegal sudah pasti akan melancarkan upaya yang tidak sesuai aturan OJK dan merugikan peminjam. Misalnya, mereka mematok bunga yang begitu tinggi di atas bunga sewajarnya.
"Paling rentan itu misalnya dari sisi bunganya terlalu tinggi tidak sesuai arahan OJK sehingga mempersulit peminjam," kata Barley kepada CNBC Indonesia, Rabu (13/2/2019).
Selain itu, metode penagihan (collection) yang dilakukan juga kerap kali menggunakan cara yang tidak sesuai aturan OJK. Misalnya, peminjam diancam bila tidak segera membayar.
"Risikonya tinggi sekali. Atau mungkin juga mereka juga menyalahgunakan penggunaan datanya," lanjut Barley.
Jika sudah demikian, OJK tidak bisa melakukan proteksi terhadap konsumen. Pasalnya, lanjut Barley, OJK sedari awal memang tidak menjamin usaha perusahaan itu karena tidak ada dalam daftar dan belum melewati serangkaian proses panjang studi kelayakan. Berbeda bila perusahaan yang bermasalah sudah tercatat di OJK.
Barley menjelaskan, sebuah perusahaan financial technology (fintech) sampai bisa mengantongi izin dan legal harus melewati proses yang panjang dan komprehensif. OJK terlebih dulu akan memeriksa manajemen perusahaan, metode collection yang diterapkan, hingga data vice presiden perusahaan.
"Kalau sudah begitu secara perusahaan baru dianggap layak. Produknya masuk kualifikasi dan dijamin OJK," ujarnya.
Untuk itu, sebelum meminjam duit secara online masyarakat diminta untuk tidak begitu saja percaya. Sehingga kalau ada permasalahan konsumen bisa melaporkan ke pihak yang menjamin, yakni OJK. Literasi masyarakat yang masih rendah juga menjadi persoalan.
Terkait kasus bunuh diri yang terjadi pada Zulfadli beberapa waktu lalu, Barley mengatakan, pihaknya tengah mengecek apakah perusahaan yang dimaksud terdaftar dalam anggotanya. Saat ini secara total ada 200 lebih perusahaan fintech di AFTECH.
Kalau benar perusahaan yang dimaksud tidak terdaftar alias ilegal maka hal itu memperkuat fakta bahwa perusahaan ilegal harus diperangi.
"Tantangan industri lending sedang berkembang pesat. Kebutuhan masyarakat juga tinggi. Ada saja oknum jahat yang memanfaatkan momentum ini ." pungkasnya.
OJK mencatat per Februari 2019, jumlah fintech peer-to-peer (P2P) lending yang terdaftar dan mengantongi izin mencapai 99 perusahaan. Artinya, jumlah fintech yang terdaftar dan berizin bertambah 11 dari jumlah fintech per 21 Desember 2018 yang sebanyak 88.
Saksikan video soal sepak terjang fintech ilegal di bawah ini:
(roy/roy)
http://bit.ly/2StKjp2
February 13, 2019 at 06:47PM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kejam! Begini Parahnya Praktik Fintech Ilegal di RI"
Post a Comment