Search

Euforia Damai Dagang Reda, Mau ke Mana Pasar Kita?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali mencatat kinerja yang memuaskan pada perdagangan kemarin. Hebatnya, pencapaian itu terjadi saat pasar keuangan Asia tengah mengalami tekanan. 

Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik 0,24%. Padahal mayoritas indeks saham utama Asia terjebak di zona merah seperti Nikkei 225 (-0,37%), Hang Seng (-0,85%), Shanghai Composite (-0,67%), Kospi (-0,27%), dan Straits Times (-0,33%). 


Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup menguat 0,19%. Di antara mata uang utama Asia, hanya rupiah dan yen Jepang yang masih bisa menguat. Rupiah berhasil mencatat penguatan selama 3 hari perdagangan berturut-turut. 
Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) untuk sebagian besar tenor juga turun. Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik akibat tingginya permintaan. 
Apa yang membuat pasar keuangan Indonesia mampu bertahan di tengah gelombang koreksi yang terjadi di Asia? Kemungkinan ada dua faktor utama. 

Pertama adalah harga minyak yang cenderung turun meski ada pembalikan arah pada sore hari. Secara mingguan, harga minyak brent anjlok 2,09% sementara light sweet amblas 1,1%. 


Penurunan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia. 

Artinya, devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak dan produk-produk turunannya juga akan lebih sedikit. Ini membuat rupiah memiliki modal yang lebih besar sehingga berpeluang untuk menguat. 

Alasan kedua adalah potensi inflasi Februari yang masih 'jinak'. Akhir pekan lalu, Gubernur Bank Sentral (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan survei bank sentral memperkirakan terjadi deflasi 0,07% secara bulanan dan 2,58% secara tahunan. Konsensus pasar sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ada deflasi 0,05% secara bulanan dan inflasi tahunan berada di 2,76%. 


Angka-angka itu menunjukkan inflasi sampai Februari masih 'santai'. Berada di batas bawah target BI di kisaran 2,5-3,5% untuk 2019. 

Indonesia adalah negara berkembang, tidak seperti negara maju layaknya Jepang atau negara-negara Eropa yang mendambakan inflasi. Bagi Indonesia, inflasi harus rendah dan stabil. Oleh karena itu, perlambatan laju inflasi adalah sebuah sentimen positif. 

Apalagi inflasi yang lambat artinya nilai mata uang tidak tergerus signifikan. Tentu menjadi suntikan tenaga bagi rupiah. </span> 

Kala ada sentimen positif bagi rupiah, maka aset-aset berbasis mata uang ini menjadi punya harapan. Akibatnya minat investor masih tetap tinggi untuk mengoleksi instrumen berbasis rupiah.

Di pasar saham, investor asing membukukan beli bersih Rp 352,68 miliar. Sementara di pasar obligasi, lelang 6 seri Surat Berharga Negara (SBN) mencetak rekor dengan jumlah penawaran mencapai Rp 93 triliun. Dari jumlah tersebut, pemerintah memenangkan Rp 22 triliun. 

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

(aji/aji)

Let's block ads! (Why?)



https://ift.tt/2UhjEs4
February 27, 2019 at 12:42PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Euforia Damai Dagang Reda, Mau ke Mana Pasar Kita?"

Post a Comment

Powered by Blogger.