
Dalam peraturan yang baru tersebut, minyak sawit dikategorikan sebagai produk yang 'tidak berkelanjutan' alias tidak bisa digunakan sebagai bahan baku biodiesel.
Keputusan tersebut muncul sebagai jawaban atas kesepakatan yang telah disetujui oleh 28 negara Uni Eropa yang menyoroti masalah deforestasi akibat adanya budidaya sawit yang masif.
Uni Eropa berpendapat bahwa kriteria baru tersebut sudah sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO), sebuah lembaga dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menaungi urusan perdagangan internasional.
Peraturan baru itu akan diujicoba selama dua bulan. Dalam rentang waktu tersebut, negara-negara anggota Uni Eropa dapat menyatakan keberatan. Bila tidak ada yang berkeberatan, peraturan ini akan dipublikasikan dalam jurnal resmi Uni Eropa dan menjadi hukum yang berlaku.
Memang, sejak tahun lalu, kampanye negatif atas kelapa sawit marak digaungkan di Benua Biru. Penggiat lingkungan berpendapat bahwa pembukaan lahan yang terjadi akibat perluasan perkebunan sawit menyebabkan gas rumah kaca tidak tidak dapat dinetralisir.
Pasalnya, sebagian besar lahan sawit terdapat di Indonesia dan Malaysia, yang merupakan daerah yang banyak terdapat hutan hujan tropis.
Berbeda dengan hutan yang ada di Eropa, maupun daerah dengan iklim sub-tropis lainnya, hutan hujan tropis memiliki waku penyinaran matahari yang paling lama. Dengan berkurangnya jumlah hutan hujan tropis, penggiat lingkungan berpendapat bahwa perubahan iklim akan semakin parah.
Sudah sejak lama Uni Eropa berkomitmen untuk melakukan perlawanan terhadap pemanasan global dan menargetkan untuk mengurangi emisi hingga 40% pada 2030, dibanding tahun 1990. Ada pula maksud untuk meningkatkan porsi dari penggunaan energi terbarukan hingga 32% dan efisiensi energi hingga 32,5%.
Dampaknya, minyak sawit tidak lagi dapat digunakan sebagai bahan baku biodiesel di Uni Eropa karena tidak sesuai dengan konsep 'energi hijau' yang mengharuskan menggunakan bahan dengan kategori 'terbarukan'. Namun, Komisi Eropa agak melunak dengan membuat pengecualian bagi minyak sawit yang berasal dari perkebunan yang kecil, dengan luas lahan tidak lebih dari dua hektare.
Tapi tetap saja, batasan-batasan tersebut akan menyulitkan pelaku industri untuk memasok minyak sawit ke Eropa. Terlebih lagi pelaku usaha pengiriman yang tak mau ambil risiko.
"Negara-negara Eropa bisa memperketat impor minyak sawit," kata pialang di Kuala Lumpur yang biasa memasok minyak sawit ke Eropa, mengutip Reuters. "importir tampaknya akan enggan untuk mengambil risiko."
Mengingat sebagian besar, bahkan hingga 51% dari impor minyak sawit negara-negara Eropa dipergunakan untuk keperluan biodiesel, maka tentu ini merupakan bahaya yang serius bagi Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN SELANJUTNYA) (taa/gus)
https://ift.tt/2HxtjYb
March 15, 2019 at 03:09AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Larangan Sawit Uni Eropa Jadi Ancaman Serius Bagi Indonesia"
Post a Comment