Search

Saham Rio Tinto di Freeport Disebut 'Bodong', Benarkah?

Jakarta, CNBC Indonesia- Hari ini beredar rilis dari beberapa pengamat yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan SDA Minerba. Mereka menuntut akuisisi 51,2% saham Freeport yang diteken Desember lalu, dibatalkan.

Salah satu yang jadi alasan pembatalan adalah mereka menilai saham partisipasi sebanyak 40% yang terdapat di PT Freeport Indonesia adalah saham bodong dan tak jelas.


Seperti diketahui, pemerintah Indonesia melalui PT Inalum (Persero) telah resmi membayar US$ 3,85 miliar untuk mengakuisisi saham Freeport MacMoran (Freeport) di PT Freeport Indonesia (PTFI) pada 21 Desember 2018. Dana sebesar US$ 3,85 miliar tersebut merupakan pembelian 40% saham Rio Tinto yang membentuk joint venture dengan Freeport di PTFI (US$ 3,5 miliar), dan 100% saham FMM di PT Indocopper Investama (PTII) yang memiliki 9.36% saham di PTFI (US$ 350 juta).


"Salah satu alasan penting yang menjadi dasar sikap kami adalah tingginya biaya akuisisi saham akibat adanya konspirasi dan manipulasi skema kerja sama FCX dengan Rio Tinto dalam pemilikan Participating Interset (PI), serta adanya potensi dan dugaan mark-up harga atas 40% PI Rio Tinto yang nilanya mencapai US$ 3,5 miliar," tulis para pakar tersebut dalam keterangan tertulis, Rabu (6/2/2019).

Mereka mengutip buku karya Mantan Dirjen Minerba ESDM Simon Sembiring, yang mengatakan PI Rio Tinto ilegal dengan pertimbangan berikut.

• Surat rahasia persetujuan oleh Mentamben I.B. Sujana kepada Rio Tinto pada April 1996 tidak lazim dan melanggar ketentuan Pasal 28 ayat 2  KK Freeport. Pasal 28 menjelaskan bahwa setiap surat menyurat antara PTFI kepada Pemerintah Indonesia harus di tujukan kepada Direktur Jenderal Pertambangan Umum. Sedangkan surat rahasia tersebut berkode "SJ" yang artinya ditujukan dan melalui Sekretariat Jenderal;

• Adanya kesepakatan PI Rio Tinto tidak pernah diketahui oleh Menteri ESDM dan Dirjen Minerba setelah periode Mentambem I.B. Sujana, dan baru terbongkar pada saat proses negoisiasi antara Inalum dengan Freeport, sekitar bulan Agustus 2017

• Dalam surat rahasia tersebut, persetujuan atas PI Rio Tinto adalah atas sesuatu yang akan terjadi nanti di belakang hari. Persetujuan PI hanya berlaku pada kegiatan selain blok A, dan tidak berlaku pada kegiatan eksisting di Blok A yang memiliki cadangan raksasa;

• Adanya PI Rio Tinto tidak pernah tercermin di dalam RKAB (Rencana Kerja Anggaran Biaya) yang merupakan kewajiban rutin tahunan yang harus diajukan oleh setiap pemegang KK atau PKP2B. RKAB hanya akan dijalankan oleh pemegang KK atau PKP2B untuk kegiatan tambang hanya setelah disetujui oleh Dirjen Minerba.

"Ternyata selama puluhan tahun, PI Rio Tinto yang memang bodong tidak pernah tercermin dalam RKAB," tulisnya.

Inalum dan Polemik Rio Tinto

Soal Rio Tinto ini, sebenarnya Inalum telah menjelaskan berkali-kali posisinya.

Dikutip dari Fact Sheet persero terkait akuisisi Freeport, Inalum menulis bahwa pada tahun 1996, Rio Tinto dan FCX menandatangani "participation agreement" atau disebut juga "participating interest" (Hak Partisipasi) yang intinya memberikan hak atas hasil produksi dan kewajiban atas biaya operasi PTFI sebesar 40% sampai dengan tahun 2022, dengan kondisi produksi diatas level yang sudah disepakati bersama (metal strip).

Mulai tahun 2023 Rio Tinto akan mendapatkan hak dan kewajiban penuh sebesar 40% dari produksi dan biaya operasi, tanpa metal strip atau batasan, hingga 2041.

Simak Penjelasan Lengkap Bos Inalum soal Polemik Rio Tinto di Video Ini

[Gambas:Video CNBC]

Menteri ESDM RI telah menyetujui skema kerjasama operasi antara Rio Tinto dengan FCX ini pada tanggal 29 April 1996. Kerjasama operasi ini, walaupun tidak mempengaruhi komposisi saham PTFI, namun mempengaruhi komposisi pembagian hasil produksi PTFI.

Jika skema Rio Tinto ini tidak diselesaikan, maka akan berdampak pada berkurangnya pendapatan negara dari dividen. Contoh: jika produksi 100 ton, maka Rio Tinto akan langsung mendapat 40 ton, dan sisa 60 ton dibagi antara Indonesia dan FCX yang hasil akhirnya tercermin dalam dividen.
Intinya, polemik Rio Tinto memang terjadi di zaman Orde Baru. Tapi Inalum memastikan surat ini sudah diteken oleh dua menteri sekaligus saat itu, yakni Menteri ESDM dan Menteri Keuangan.

Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin juga sempat menjelaskan soal polemik Rio Tinto ini. Budi menjelaskan hadirnya Rio Tinto sudah lama di Freeport, meski tim negosiasi baru mengetahuinya belakangan ini.

Baca: Polemik Rio Tinto dan Sejarahnya di Freeport

"Mulainya tahun 1995, Rio Tinto tanda tangan dengan Freeport McMoran (FCX) untuk pembiayaan investasi di Grasberg, lalu kemudian isitilah mudahnya ini diijon oleh Freeport," kata Budi. 
Tahun 1996, perjanjian antara Freeport McMoran dan Rio Tinto itu diubah menjadi perjanjian lokal. "Ini diminta oleh pemerintah Indonesia, yang saya lihat suratnya disetujui oleh Menteri ESDM dan Menteri Keuangan," jelasnya.

Soal kehadiran Rio Tinto ini juga sebenarnya terus dimasukkan dalam laporan keuangan Freeport yang diunggah oleh Freeport McMoran di situsnya.

Di laporan keuangan PTFI disebut Rio Tinto menyuntik investasi US$ 75 juta untuk menggarap tambang Grasberg. Untuk investasi itu, Rio Tinto kemudian mendapat hak partisipasi 40%. Hingga 2017, total investasi yang telah dikucurkan Rio Tinto mencapai US$ 166 juta.

Tapi benarkah hanya sebesar itu, sampai-sampai Freeport rela ijon dengan Rio Tinto?
PT Freeport Indonesia pernah menyebut bahwa untuk investasi tambang bawah tanah hingga 2041, diperlukan investasi sebanyak US$ 20 miliar. "Kalau 20 tahun saja butuh Rp 20 miliar, tampaknya investasi Rio Tinto di Freeport bisa kisaran segitu atau lebih," jelas Budi. 

Lalu, mengapa RI wajib beli saham Rio Tinto?
Budi menjelaksan di PT Freeport Indonesia (PTFI), ada yang namanya Equity Interest dan ada Economic Interest.

Untuk equity interest, komposisinya adalah: 
a. 9,36% pemerintah Indonesia
b. 90,64% Freeport McMoran (induk dari PTFI, di dalamnya termasuk saham Indocopper Investama yang sudah dibeli oleh Freeport)

Sementara untuk economic interest, karena ada perjanjian antara Freeport dan Rio Tinto, di mana setiap produksi yang dihasilkan dari tambang Grasberg harus dipotong terlebih dulu sebesar 40% untuk Rio Tinto. Jadi komposisinya sebagai berikut:

Rio Tinto 40%, sementara sisa 60%nya dibagi untuk PTFI dan Pemerintah Indonesia. Jadi, porsi 9,36% yang dimiliki Indonesia sebenarnya adalah 9,36% dari 60% hasil produksi. 

Sehingga komposisi economic interest menjadi sebagai berikut:
a. Rio Tinto 40%
b. PT Freeport Indonesia 54,6%
c. Pemerintah Indonesia 5,4%

Saham Rio Tinto di Freeport Disebut 'Bodong', Benarkah?Foto: Presiden RI Joko Widodo bersama para menteri dan bos Freeport (Ist)

Nah, PT Freeport Indonesia membuat perjanjian di mana hak partisipasi Rio Tinto 40% ini setelah 2022 akan dikonversi menjadi saham. Sehingga makin kompleks-lah hubungan segitiga antara Freeport, Rio Tinto, dan Indonesia. 

Menurut Budi, ketimbang didiamkan dan nanti begitu Indonesia jadi pemegang saham mayoritas tanpa akuisisi Rio Tinto, risikonya begitu dapat hasil tambang tidak langsung jatuh ke Indonesia terlebih dulu, tapi dipotong 40% untuk Rio Tinto. "Kalau langsung masuk dari PT Freeport Indonesia dapatnya cuma 31%," tambahnya. Untuk itulah akhirnya RI perlu akuisisi 40% saham Rio Tinto.

(roy)

Let's block ads! (Why?)



http://bit.ly/2SauBic
February 06, 2019 at 08:23PM

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Saham Rio Tinto di Freeport Disebut 'Bodong', Benarkah?"

Post a Comment

Powered by Blogger.