Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, avtur menyumbang 24% dari total biaya maskapai domestik, artinya jika ada kenaikan avtur, dampaknya sangat signifikan.
"Kalau digali lebih dalam ternyata akar masalahnya ada di distribusi avtur yang belum efisien. Pertamina dan pemerintah terlambat membangun infrastruktur penyaluran avtur ke bandara di luar Jawa," kata Bhima, kepada CNBC Indonesia, Selasa (12/2/2019).
Sebagai gambaran, bahan bakar avtur jenis Jet A di Bandara Soekarno Hatta dijual Rp 8.210 per liter. Sementara di Bandara Kualanamu, Medan dijual Rp 9.320 per liter. INDEF menilai, selisihnya terlalu lebar mencapai 13,5% mengacu data Pertamina 12 Februari 2019.
"Padahal prinsipnya harga avtur sama dengan harga BBM jenis nonsubsidi, sama di semua wilayah Indonesia," tuturnya.
Untuk membandingkan, harga avtur Jet A rata-rata di Asia Pasifik dibanderol sebesar 77 dolar AS per barel atau setara Rp 6.850 per liter dengan asumsi kurs Rp 14.000 per dolar AS. Disparitas harga yang terlalu lebar membuat maskapai menanggung ongkos yang terlalu mahal.
![]() |
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengemukakan wacana memasukkan pihak swasta untuk ikut memasok avtur, sehingga harga bahan bakar avtur menjadi lebih kompetitif.
"Karena monopoli harganya jadi tidak kompetitif. Bandingkan harga avtur di situ dengan yang di dekat-dekat kita. Terpaut kurang lebih 30-an persen dan itu yang harus dibenahi," kata Presiden Jokowi, di Hotel Grand Sahid Jakarta, Senin (11/2/2019).
Mengenai rencana memasukkan pihak swasta ikut menjual avtur, Bhima menilai, seharusnya pemerintah mewajibkan pihak swasta juga membangun infrastruktur penyaluran avtur ke bandara di seluruh wilayah Indonesia. Karena jika tidak membangun infrastuktur, nantinya akan tetap mengimpor, sehingga membebani neraca perdagangan.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setyawan menilai, terkait dengan polemik harga avtur tersebut, mesti dilihat dan dikaji lebih dalam lagi.
"Jangan lupa, harga avtur itu juga dipengaruhi oleh harga minyak dunia dan juga kurs rupiah terhadap dolar," ujar Mamit saat dihubungi Selasa (11/2/2019).
Lebih lanjut, ia menilai sangat tidak adil jika avtur dijadikan sebagai komponen tertinggi biaya operasional. Karena di dalam komponen perhitungan harga tiket, biaya bahan bakar hanya dikenakan sebesar 26% dari harga tiket.
"Perlu dipahami juga, Pertamina harus memasok avtur ke bandara yang masuk katagori remote, sehingga, perusahaan harus melalukan subdisi silang. Jika swasta ingin masuk, maka mereka harus bermain di wilayah remote juga," tambah Mamit.
Adapun, Mamit berpendapat, polemik harga avtur ini lebih kepada persoalan business to business, antara Pertamina dengan maskapai.
"Saya kira Pertamina pasti memberikan diskon khusus kepada maskapai terkait dengan harga avtur. Apalagi jika memang pembayaran lancar. Saat ini Garuda saja berutang Rp 3,2 triliun kepada Pertamina terkait avtur. Ini jelas menjadi beban cost off money Pertamina dalam menentukan harga," pungkas Mamit.
Simak video Menko Kemaritiman Luhut Pandjaitan mengomentari monopoli avtur oleh Pertamina di bawah ini.
(miq/miq)
http://bit.ly/2TLBL9k
February 13, 2019 at 12:58AM
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Faktor Apa yang Menyebabkan Harga Avtur Mahal?"
Post a Comment